Pendahuluan
Sejarah penulisan hadist sering
kali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim maupun non
muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas hadist Nabi
lantaran mereka berargumen bahwa hadist Nabi ditulis dan dibukukan dua abad
sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu
sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta
makna hadist yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi
rasional semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa
diterima oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah
penulisan dan pembukuan dengan benar.Sementara di sisi yang lain ada
sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja hadist Nabi tanpa
mempedulikan kesahihan dan ketidaksahihannya.Pada makalah ini penulis mencoba
berusaha secara ringkas untuk mengemukakan penjelasan yang benar tentang
penulisan dan pembukuan hadist Nabi sejak mulai abad ke 2 H sampai dengan abad
ke 7 H hingga sekarang.
Penulisan dan
Pembukuan Hadist Secara Resmi (Abad ke 2 H)
Pada periode ini Hadist-hadist
Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang
memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar
ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan
membukukan hadis secara resmi[1],hal
ini didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan
hilangnya hadist dan wafatnya para ulama hadist[2].
Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya
yang sudah meninggal dunia. Sementara hadist-hadist yang ada di dada
mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada
generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan
takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan hadist.
Ada perbedaan dalam penghimpunan
hadist dengan al-Qur’an. hadist mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga
abad dibanding dengan al-Qur’an yang hanya memerlukan waktu relatif lebih
pendek[3].
Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan hadist disini adalah fase-fase
yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan
hadist, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab hadist
yang dapat disaksikan sekarang ini.[4]
Pada masa pemerintahan Umar ibn
Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya pemahaman
dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah
hadist.Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadist-hadist tersebut
dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang
baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada
hadist-hadist Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat
Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah
saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena
itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan yang penuh semangat dalam
rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.[5]
Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa
kegiatan pembukuan hadist telah diprakarsai oleh ayahnya Khalifah Umar, yaitu
Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Akan tetapi karena
jabatannya sebagai gubernur maka jangkauannya tidak menyeluruh, oleh karena itu
diteruskan oleh Umar setelah diangkat menjadi Khalifah. Tentunya
pengkodifikasian hadist begitu cepat merambah ke daerah-daerah yang dikuasai oleh
gubernur dan langsung memberikan instruksi agar menulis dan mengumpulkan hadist
yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia mengutus
para ulama untuk mengumpulkan hadist-hadist Rasulullah, hadist yang dipercaya
kebenarannya ialah hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang memiliki
sifat menjauhkan diri dari dosa dan takwa.[6]
Jika kita teliti kemampuan ilmiah
umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk melakukan penulisan
terhadap hadist-hadist Nabi,[7] Tetapi
pendapat yang dominan di kalangan para sarjana dan ilmuan adalah bahwa
hadist-hadist itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut sampai akhir abad
pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat kepada
Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran
Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka. Kondisi seperti itu
secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga sebagian
dari agama.[8] Adapun
pandangan para orientalis tentang penulisan pertama hadist yang dilakukan oleh
al-Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena mereka merujuk
pada hadist-hadist fikih yang menurut pandangan para orientalis baru muncul
sesudah zaman Umar ibn Abdul Aziz.[9]Pendapat
ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, yang mana
ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis hanya dengan lisan dianggap
sebagai ucapan biasa saja. Padahal bila kita rujuk pada pengertian hadist itu
sendiri bahwa segala sesuatu yang lahir dari perilaku Nabi secara keseluruhan
itu merupakan bahan yang menjadi hukum atau pelajaran pada generasi sesudahnya.
Terkait dengan pengertian tersebut maka kitab al Muwaththa’ karya
ibn Malik merupakan salah satu kitab yang mencatat hadist Nabi saw dan fatwa
ulama awal di Madinah yang menganut pengertian tersebut,sehingga kitab tersebut
disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru
kemudian fatwa yang memuat penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan
perkataan, perbuatan yang dilakukan Nabi dan pendapat hukum para sahabat,
tabi’in serta fatwa ulama.
Masa Pemurnian dan
Penyempurnaan Penulisan Hadist ( Abad ke 3 H )
Menurut ahli hadist,yang menjadi
masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan sampai seratus tahun lebih dalam
pembukuan hadist adalah karena hanya mengikuti pendapat populer di kalangan
mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa hadist sudah
dibukukan pada masa yang lebih awal.[10]. Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum disusun dan
dibukukan pada masa sahabat dan tabi'in dikarenakan adanya larangan Nabi dalam
shahih Muslim, khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an, sebab lain hafalan
mereka sangat kuat dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak
dapat menulis. Baru pada masa akhir tabi'in, hadist-hadist Nabi disusun dan
dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan hadist berlangsung sejak pemerintahan
al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti
Abbasiyah. Ulama-ulama hadist memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadist,
terutama kemurnian hadist Nabi saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan
pemalsuan hadist yang semakin marak.[11] Dalam
setiap ajaran agama bagi para pemeluknya, tentunya sangat bervariasi dalam
mengamalkan ajaran itu sendiri. Ini sesuai dengan kondisi sejauh mana pemahaman
mereka tentang agama serta pengaruh yang dapat mengubah pola pikir seseorang
menjadi taat, fanatik, atau acuh tak acuh. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah
dimulai pada abad ke-2 dengan lahirnya para imam mujtahid di
berbagai bidang fikih dan ilmu kalam. Perselisihan dan perbedaan pendapat di
kalangan imam mujtahid menjadi khazanah ilmu
yang terus dikembangkan dan dihargai, tetapi lain halnya yang dipahami oleh
para pengikut imam tersebut. Dikarenakan faktor ingin benar dan menang sendiri
maka pendapat ulama lainnya dianggap tidak benar. Fanatik menjadi ciri khas
mereka yang akhirnya menciptakan hadis-hadist palsu dalam rangka mendukung mazhabnya
dan menjatuhkan mazhab lawannya. Kegiatan pemalsuan hadist
mengalami masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim
dan Wastiq, yang mereka sangat mendukung kaum Mu'tazilah. Momentum pertentanganmazhab juga
dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan
hadist-hadist palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para
pengarang cerita juga memanfaatkan situasi tersebut.
Ulama Mu'tazilah tidak saja mempengaruhi pikiran khalifah untuk
bertindak keras terhadap ahli hadist,bahkan mereka melepaskan caci maki kepada
ahli hadist serta menuduh ahli hadist bodoh dan dungu.[12] Oleh
sebab itu para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk hadist dapat
terus dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu
hadist yang telah masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya
adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi
saw. Maka para ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para
perawi hadist yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari
yang telah melakukan perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah,
Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian
hadist yang disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan
kepada para sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'),
serta penyeleksian hadist kepada hadist shahih, hasan, dan dha'if.
Adapun bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini adalah :
- Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadis-hadist Shahih, sedangkan yang tidak Shahih tidak dimasukkan ke dalamnya. Yang termasuk dalam kitab shahih adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
- Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai hadist-hadistShahih, juga dijumpai hadist yang berkualitas Dha'if dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Yang termasuk dalam kitab ini antara lain Sunan Abi Dawud, Sunan at Turmudzi, Sunan al Nasa’I dan Sunan ibn Majah.
- Kitab Musnad, di dalam kitab ini dijumpai hadis-hadist disusun berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan lainnya seperti hurufhijaiyah dan lain sebagainya. Yang termasuk kitab ini adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal.
Penyusunan ketiga bentuk kitab Hadis tersebut merupakan kebutuhan untuk
menyeleksi bahwa hadist tersebut bersumber atau murni dari Nabi SAW dengan
sanad dan perawi yang dapat dipertanggungjawabkan, dengan otentesitas hadist
tersebut maka hadist tersebut dapat dijadikan sumber hukum dan hujjah
sekaligus.
Masa Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan Dalam Penulisan Hadist (Abad 4
s/d 7 H)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan
membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak
bisa membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara
mereka tidak ada seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya
sebagai ciri keadaan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang
yang di antara mereka ada yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid
al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga
menguasainya, dan merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa
Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan
anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya
sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mempu
membaca.[13]
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan hadist sudah menjadi suatu
keharusan sejak abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin
meluas dan diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan
argumennya. Maka pemeliharaan hadist sudah menjadi tanggungjawab para penguasa
pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-Muqtadir sampai pada
al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7 akibat
serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama hadist
dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada
periode sebelumnya. Hanya saja hadist yang dihimpun tidaklah sebanyak masa
sebelumnya. Adapun kitab-kitab hadist yang dihimpun adalah :
- Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H).
- Al-Anwa'wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).
- Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).
- Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.
- Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi.[14]
Kitab-kitab di atas merupakan bahan rujukan bagi para ulama hadist,
sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa serta menyelidiki sanad-sanadnya.
Selanjutnya menyusun kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan
menghimpun sanaddan matannya yang saling berhubungan
serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada
tersebut.[15]
Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab hadist pada periode ini
memperkenalkan sistem baru, yaitu :
Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan
sebagian darimatan hadist tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu,
baiksanad yang berasal dari kitab hadist yang dikutip matannya
ataupun dari kitab-kitab lainnya.
- Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan hadist tersebut dengan sanadnya sendiri.
- Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya.
Kitab Jami', kitab ini menghimpun hadis-hadist yang termuat
dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti :
- Yang menghimpun hadist-hadist shahih Bukhari dan Muslim.
- Yang menghimpun hadist-hadist dari al-Kutub al-Sittah.
- Yang Menghimpun hadist-hadist Nabi dari berbagai kitab hadist.
Pensyarahan, penghimpunan, pentakhiran
dan pembahasan Hadist (Abad 7 H s/d sekarang)
Kegiatan periwayatan hadist
Berawal dari penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap
pemerintahan Abbasiyah yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk
setelah berhasil menaklukkan bangsa mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk
mempunyai maksud tertentu dengan membai'at khalifah. Hanyalah
sekedar simbol agar daerah-daerah Islam lain mau mengakui daerah Mesir sebagai
pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir sebagai
pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk sebagai
penguasa dunia Islam.
Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk sudah
mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki
atas peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan
kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekitarnya dan selanjutnya membangun Daulah
Utsmaniah yang berpusat di Turki. Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir
(runtuhnya Khalifah Abbasiyah), maka berpindahlah pusat
kekuasaan Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang dipimpin oleh
Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun
Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai
daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir
seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa. Kembangkitan
kembali umat Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Sejalan
dengan kondisi Islam di atas, maka periwayatan hadist pada periode ini lebih
banyak dilakukan dengan cara ijazahi dan mukatabah.[16] Sedikit
sekali dari ulama hadist. pada periode ini melakukan periwayatan hadist secara
hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama yang terdahulu di antaranya :
- Al-'Iraqi (w. 806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendiktekan hadist secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H / 1394 M, serta menulis beberapa kitab hadist. Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H / 1448 M), seorang penghafal hadist yang tiada tandingannya pada masanya. Ia telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadist.
- Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497 M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendiktekan hadist kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab.[17]
Pada masa ini, para ulama hadist pada umumnya mempelajari kitab-kitab
hadist yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya
sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah,
Mukhtashar, Zawa'id, Takhrijdan lain sebagainya. Tentunya tidak terlepas
dari pengkaji hadist pada saat sekarang, selain mengkaji Matan (isi)
hadist tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru
dan tidak hanya menerima bahwa hadist tersebut shahih atau
tidak shahih. Akan tetapi kita telah mendapatkan suatu pengetahuan
dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab hadist tersebut beroperasi,
yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan hadist dari
orang-orang yang ingin menyelewengkannya.Dalam hal ini kita tidak terlepas dari
ilmu Tarikhir-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi
hadist baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan,
dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima hadist dari guru-guru mereka.[18]
Bentuk penyusunan kitab hadist
Pada periode ini, umumnya para ulama hadist mempelajari kitab-kitab hadist
yang telah ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi
sebuah karya sebagai berikut :
Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan
kandungan hadist dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain
yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya.[19] Di
antara contohnya adalah :
- Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, yaitu syarah kitab Shahih al-Bukhari.
- Al-Minhaj, oleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
- ‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan Abu Dawud.
Kitab Mukhtashar. Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadist, seperti Mukhtashar
Shahih muslim, oleh Muhammad fu’ad abd al-Baqi.
Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun hadist-hadist dari
kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara
contohnya adalahZawa’id al-sunan al-Kubra, oleh al-Bushiri, yang memuat
hadist-hadist riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub
al-Sittah.
Kitab Petunjuk (kode indeks) hadist. Yaitu, kitab yang berisi
petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan hadist
pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh
A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd
al-Baqi.
Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat
pengambilan hadist-hadist yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan
kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits al-Ihya’, oleh
Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij hadist-hadist yang terdapat di
dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun hadist-hadist
dari berbagai kitab hadist tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan,
karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun hadist-hadist Bukhari dan
Muslim.
Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya,Bulugh
al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan koleksi
Hadis-hadis Hukum oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.[20]
Dengan adanya karya-karya besar para
ahli hadist tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam
mempelajari serta mentelusuri hadist-hadist yang ada sekarang, sehingga dapat
mengetahui kualitas hadist-hadist tersebut, dan menghindarkan diri dari
pengamalan hadist-hadist yang daif. Penulisan dan Pembukuan Hadits
pada abad ke II H
Pembukuan hadits diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz salah seorang Bani Umayyah. Adapun yang mendorong beliau untuk membukukan hadits adalah para perawi/ penghafal hadits kian lama kian banyak yang meninggal dunia.
Kitab-kitab hadits yang disusun pada abad ke II H Ialah :
(1) Al Muwatto karya Imam Malik.
(2) Al Maroghi, karya Muhammad bin Ishaq.
(3) Al Jami’, karya Abdurrazad.
(4) Al Musannaf, karya Al Auza’i.
(5) Al-Musnad,karyaAsy-Syafi’
MASA-MASA PERKEMBANGAN HADIST
Masa Pembentukan Hadist
Masa pembentukan hadist tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu
sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadist belum ditulis, dan
hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al
wahyu wa at takwin. periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai
Nabi dan Rasul hingga wafatnya (610 M-632 M)
Masa Penggalian
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya
Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadist belum
ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah
bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling
bertukar hadist dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
Masa Penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak
menerima hadist baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan
kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya
hadist palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak
yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika
ada hadist baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti
secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadist itu. Maka
pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah
seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan hadist. Masa ini terjadi pada abad 2
H, dan hadist yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan hadist marfu'
dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.
Masa Pendiwanan dan Penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadist. Guna
menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadist sebagai
prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadist dan
memisahkan kumpulan hadist yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi
Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu'
(berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadist pada masa ini selain telah
dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan
Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas
hadist yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan
hadist terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah
selesai melakukan pembinaan mahligai hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan
seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadist seperti menghimpun yang
terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber
utamanya kitab-kitab Hadis abad 4 H.
Kesimpulan
Pengumpulan hadist secara resmi telah dimulai sejak Khalifah Umar ibn Abdul
Aziz, yaitu awal abad ke 2, hal ini dilakukan dalam rangka melestarikan hadist
agar hadist tersebut tidak hilang bersama penghafal hadist, di samping itu
merupakan tuntutan kondisi umat Islam semakin banyak dan wilayahnya semakin
luas, sehingga diperlukan suatu rujukan hukum berupa hadist setelah al-Qur’an
Sesudah itu, penulisan dan pembukuan hadist melewati beberapa proses yang
semuanya bertujuan mencapai kesempurnaan dan penjagaan atas keaslian hadist-1hadist
tersebut.
Dalam pemilahan hadist yang shahih dan yang palsu, kiranya kita harus
melihatsanad dan matannya, dan yang terlebih lagi
hadist tersebut tidak mempunyai pertentangan dan tidak menjadi kepentingan
politik golongan tertentu pada masa silam sehingga dilestarikannya dengan
hadist pemalsuan.
Kritik dan Saran
Sesuai dengan hadist Nabi SAW :
تركت فيكم امرين لن تضل ابدا,ما ان تمسكتم
بهما كتاب الله وسنة رسوله
Artinya : Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara,jika sekiranya
kalian berpegan atas keduanya maka tidak akan sesat selamanya yaitu Kitab ALLAH
dan sunata Rasulihi.
[13] Syaikh Manna’
al-Qathtan, Mabahis Fi Ulumil Hadist, terjemah Mifdhol
Abdurrahman ,Pengantar Studi Ilmu Hadist(Jakarta: Al-
Kausar,2005),h. 45.
[16] Ijazah adalah
pemberian izin dari seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan
hadist-hadist yang berasal dari guru tersebut,baik yang tertulis maupun yang
berupa hafalan.Sedangkan mukatabah adalah pemberian
catatan hadist dari seorang guru kepada orang lain (muridnya),baik catatan
tersebut ditulis oleh guru itu sendiri ataupun didiktekan kepada muridnya .
Lihat Nawir Yuslem , Ulumul Hadist……h. 143