RUNTUHNYA DINASTI BANI ABBASIYAH


Seluruh Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa berjumlah 37 orang, diantaranya sebagai berikut :
  1. Abu Abbas as-Saffah 132-136 H/749-754 M 
  2. Abu Ja’far al-Mansur 136-158 H/754-775 M 
  3. Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi 158-169 H/775-785 M 
  4. Abu Muhammad Musa al- Hadi 169-170 H/785-786 M 
  5. Abu Ja’far Harun ar- Rasyid 170-193 H/786-809 M 
  6. Abu Musa Muhammad al- Amin 193-198 H/809-813 M 
  7. Abu Ja’far Abdullah al- Ma’mun 198-218 H/813-833 M 
  8. Abu Ishaq Muhammad al- Mu’tashim 218-227 H/833-842 M 
  9. Abu Ja’far Harun al- Watsiq 227-232 H/842-847 M 
  10. Abu Fadl Ja’far Muhammad al-Mutawakkil 232-247 H/847-861 M 
  11. Abu Ja’far Muhammad al- Muntashir 247-248 H/861-862 M 
  12. Abu Abbas Ahmad al-Musta’in 248-252 H/862-866 M 
  13. Abu Abdullah Muhammad al- Mu’tazz 252-255 H/866-869 M 
  14. Abu Ishaq Muhammad al- Muhtadi 255-256 H/869-870 M 
  15. Abu Abbas Ahmad al- Mu’tamid 256-279 H/870-892 M 
  16. Abu Abbas Muhammad al- Mu’tadhid 279-289 H/892-902 M 
  17. Abu Muhammad Ali al-Muktafi 289-295 H/902-908 M 
  18. Abu Fadl Ja’far al-Muqtadir 295-320 H/908-932 M 
  19. Abu Mansur Muhammad al- Qahir 320-322 H/932-934 M 
  20. Abu Abbas Ahmad ar-Radhi 322-329 H/934-940 M 
  21. Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi 329-333 H/940-944 M 
  22. Abu Qasim Abdullah al- Mustaqfi 333-334 H/944-946 M 
  23. Abu Qasim al-Fadl al-Mu’thi 334-363 H/946-974 M 
  24. Abu Fadl Abdul Kari math- Tha’I 363-381 H/974-991 M 
  25. Abu Abbas Ahmad al-Qadir 381-422 H/991-1031 M 
  26. Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im 422-467 H/1031-1075 M 
  27. Abu Qasim Abdullah al-muqtadi 467-487 H/1075-1094 M 
  28. Abu Abbas Ahmad al- Mustazhhir 487-512 H/1094-1118 M 
  29. Abu Mansur al-Fadl al- Murtasyid 512-529 H/1118-1135 M 
  30. Abu Ja’far al-Mansur ar- Rasyid 529-530 H/1135-1136 M 
  31. Abu Abdullah Muhammad al- Muqtafi 530-555 H/1136-1160 M 
  32. Abu Muzaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170 M 
  33. Abu Muhammad al-Hasan al- Mustadhi’ 566-575 H/1170-1180 M 
  34. Abu al-Abbas Ahmad an-Nashir 575-622 H/1180-1225 M 
  35. Abu Nasr Muhammad az- Zhahir 622-623 H/1225-1226 M 
  36. Abu Ja’far al-Mansur al- Mustanshir 623-640 H/1226-1242 M 
  37. Abu Ahmad Abdullah al- Musta’shim 640-656 H/1242-1256 M
Khalifah dinasti Bani Abbasiyah terakhir yaitu al-Musta’shim yang dibunuh oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang menaklukkan Baghdad tahun 656 H/1258 M. Seorang pangeran keturunan Abbasiyah berhasil lolos dari pembunuhan dan meneruskan khilafah dengan gelar Khilafah yang berkuasa di bidang keagamaan saja di bawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo, Mesir tanpa kekuasaan duniawi yang bergelar Sultan. 

Para khalifah dinasti Bani Abbasiyah yang ada di Mesir berjumlah 22 orang yaitu :
  1. Al-Mustanshir 659-660 H/1261-1261 M 
  2. Al-Hakim I 660-701 H/1261-1302 M 
  3. Al-Mustakfi I 701-740/1302-1340 M 
  4. Al-Watsiq I 740-741 H/1340-1341 M 
  5. Al-Hakim II 741-753 H/1341-1352 M 
  6. Al-Mu’tadhid 753-763 H/1352-1362 M 
  7. Al-Mutawakkil I 763-779 H/1362-1377, pertama kali. 
  8. Al-Mu’tashim 779 H/1377 M, pertama kali. 
  9. Al-Mutawakkil I 779-785 H/1377-1383 M, kedua kali. 
  10. Al-Watsiq II 785-788 H/1383-1386 M 
  11. Al-Mu’tashim 788-791 H/1386-1389 M, kedua kali. 
  12. Al-Mutawakkil I 791-808 H/1389-1406 M, ketiga kali. 
  13. Al-Musta’in 808-816 H/1406-1414 M 
  14. Al-Mu’tadhid II 816-845 H/1414-1441 M 
  15. Al-Mustakfi II 845-855 H/1441-1451 M 
  16. Al-Qa’im 855-859 H/1451-14-79 M 
  17. Al-Mustanjid 859-884 H/1455-1479 M 
  18. Al-Mutawakkil II 884-903 H/1479-1497 M 
  19. Al-Mustamsik 903-914 H/1497-1508 M, pertama kali. 
  20. Al-Mutawakkil III 914-922 H/1508-1516 M, pertama kali. 
  21. Al-Mustamsik 922-923 H/1516-1517 M, kedua kali. 
  22. Al-Mutawakkil III 923 H/1517 M, kedua kali. 
Jabatan khalifah yang di sandang oleh keturunan Abbasiyyah di Mesir berakhir ketika diambil oleh Sultan Salim I dari Turki Utsmani yang menguasai Mesir pada tahun 923 H/1517 M. Sejak saat itu, hilanglah Khalifah Abbasiyah untuk selama-lamanya.

PENDAHULUAN

Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara budak yang disebut  Mamluk pada abad ke-9. Dibentuk oleh  Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber dari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah. karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal dengan Bani Mamalik berhasil berkuasa, yang pada mulanya mengambil inisiatif merebut kekuasaan kerajaan Ayyubiyyah yang pada masa itu merupakan kepanjangan tangan dari khilafah Bani Abbas, hal ini disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas dalam memimpin kerajaan. Bani Mamalik ini mendirikan kesultanan sendiri di Mesir dan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Cairo setelah berbagai serangan dari tentara tartar dan kehancuran Baghdad sendiri setelah serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Walaupun berkuasa Bani Mamalik tetap menyatakan diri berada di bawah kekuasaan (simbolik) kekhalifahan, dimana khalifah Abbasiyyah tetap sebagai kepala negara.
Pengaruh Bani Buwaih
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.
Pengaruh Bani Seljuk
Setelah jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro (Seljuk Agung), posisi dan kedudukan khalifah Abbasiyah sedikit lebih baik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan manhaj Sunni yang dianut oleh mereka.
Kemunduran
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
  1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
  2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
  3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad. 
Masa Disintegrasi (1000-1250 M)
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khilafah ditandai dengan pembayaran pajak.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya adalah:
  1. Mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya,
  2. Penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara:
  1. Seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko.
  2. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyyah di Tunisia dan  Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Bani Idrisiyyah di Marokko, provinsi-provinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah (kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Di samping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masaBani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.
  1. Sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
  2. Orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti MarokoMesirSyriaIrakPersiaTurki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, di samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik takhta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu.
Munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
Yang berbangsa Persia :
  1. Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).
  2. Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).
  3. Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
  4. Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).
  5. Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M). 
Yang berbangsa Turki :
  1. Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).
  2. Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).
  3. Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M).
  4. Bani Seljuk/Salajiqah dan cabang-cabangnya:
Yang berbangsa Kurdi :
  1. al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).
  2. Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M).
  3. al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III.
  4. Yang berbangsa Arab :
  5. Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M).
  6. Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).
  7. Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).
  8. 'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M).
  9. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).
  10. Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).
  11. Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).
  12. Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M). 
Yang mengaku dirinya sebagai khilafah :
  1. Umayyah di Spanyol.
  2. Fatimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama antara ArabPersia dan Turki. Di samping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah maupun Sunni.
Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran ManuismeZoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin danQaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam IslamMu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh Rasulullah.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya. 
Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama pahamAhlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan :
Agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti juga agama Isa ‘alaihis salaam, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan. yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia... telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam ...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga.
Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
  1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
  2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib. Pengaruh perang salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerusalem.
Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen. Sebagaimana sebelumhnya tentara Sulthan Alp Arselan Rahimahullah tahun 464 H (1071 M), yang hanya berkekuatan 20.000[1] – 30.000 [2] prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentaraRomawi yang berjumlah 40.000[2] – 70.000[3], terdiri dari tentara RomawiGhuzal-Akrajal-HajrPerancis dan Armenia, peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Manzikert.
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syriadan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.