Shafiyah
binti Huyay adalah salah satu istri ke-11Muhammad yang
berasal dari suku Bani
Nadhir. Ketika menikah, ia masih berumur 17 tahun. Ia mendapatkan julukan "Ummul mu'minin".Bapaknya
adalah ketua suku Bani Nadhir, salah satu Bani Israel yang
bermukim disekitar Madinah.
NASAB
Shafiyyah
binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj
bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya bernama Barrah binti Samaual
darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau
dua tahun setelah masa kenabian Muhammad.
BIOGRAFI
Shafiyah
telah menjanda sebanyak dua kali, karena dia pernah kawin dengan dua orang
keturunan Yahudi yaitu Salam bin Abi Al-Haqiq (dalam kisah lain dikatakan
bernama Salam bin Musykam), salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah, namun rumah
tangga mereka tidak berlangsung lama.
Kemudian
suami keduanya bernama Kinanah bin Rabi' bin Abil Hafiq, ia juga salah seorang
pemimpin Bani Qurayzhah yang diusir Rasulullah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya Kinanah
bin Rabi' telah tertawan, karena kalah dalam pertempuran tersebut. Dalam satu
perundingan Shafiyah diberikan dua pilihan yaitu dibebaskan kemudian diserahkan
kembali kepada kaumny atau dibebaskan kemudian menjadi isteri Muhammad,
kemudian Safiyah memilih untuk menjadi isteri Muhammad.
Shafiyah
memiliki kulit yang sangat putih dan memiliki paras cantik,
menurut Ummu Sinan Al-Aslamiyah, kecantikannya itu
sehingga membuat cemburu istri-istri Muhammad yang lain. Bahkan ada seorang istri
Muhammad dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa mereka adalah
wanita-wanita Quraisy bangsa
Arab, sedangkan dirinya adalah wanita asing (Yahudi).
Bahkan
suatu ketika Hafshah sampai mengeluarkan lisan kata-kata, ”Anak seorang Yahudi”
hingga menyebabkan Shafiyah menangis. Muhammad kemudian bersabda, “Sesungguhnya
engkau adalah seorang putri seorang nabi dan pamanmu adalah seorang nabi,
suamimu pun juga seorang nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?”
Kemudian Muhammad bersabda kepada Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah wahai
Hafshah!” Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri-istri nabi yang
lain maka diapun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal
suamiku adalah Muhammad, ayahku (leluhur) adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”
Shafiyah wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan Mu'awiyah.
Sejak
kecil dia menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan
kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang
seorang nabi dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya
tercurah pada masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di
Mekkah. Dia sangat heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar
tersebut, padahal sudah jelas tertulis di dalam kitab mereka sendiri. Demikian
juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap
kaum Muslim.
Sifat
dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam
banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay
terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Qurayzhah. Ketika itu, Huyay berjanji
untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan
perjanjian tidak mengkhianati kaum Muslim (Perjanjian Hudaibiyah).
Akan tetapi, ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay
melepaskan tanggung jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah
sikapnya terhadap orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk
menghasut kaum Quraisy agar memerangi kaum Muslim dan mereka menyuruhnya
mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan
Tuhan mereka lebih baik daripada Tuhan Muhammad.
Penaklukan Khaibar dan Penawanannya
Perang Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin. Muhammad segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum muslimin.
Setelah
perjanjian Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh
tahun, Muhammad merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi, tepatnya pada
bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Muhammad memimpin tentara Islam untuk
menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang
berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada
di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda
mereka menjadi harta rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan
perang. Di antara tawanan perang itu terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi
yang ditinggal mati suaminya.
Bilal membawa Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Muhammad. Di sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Muhammad memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian ia bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?” Muhammad memilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu menawarkan untuk memeluk agama Islam kepadanya dan kemudian Shafiyyah menerima tawaran tersebut.
Seperti
telah dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Muhammad sejak dia
belum mengetahui kerasulan dia. Keyakinannya bertambah besar setelah dia
mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas berkata, “Rasulullah ketika
hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang
engkau ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah
rnengharapkanrnu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah
mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah
tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Muhammad dan rindunya terhadap
Islam.
Bukti-bukti
yang jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan
sesuatu dalam tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya.
Mengetahui takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah
sehingga berbekas di wajahnya. Muhammad melihat bekas di wajah Shafiyyah dan
bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat
bulan muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi
itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut
raja yang datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”
Masa Pernikahannya (Menjadi Ummu al-Mukminin)
Muhammad
menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya.
Pernikahan Muhammad dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah
telah mernilih Islam serta menikah dengan Muhammad ketika ia memberinya pilihan
antara memeluk Islam dan menikah dengan dia atau tetap dengan agamanya dan
dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Muhammad,
Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan
kaum muslim, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan
Muhammad.
Muhammad
menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya ia terhadap istri-istri yang lain.
Akan tetapi, istri-istri Muhammad menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah
sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang
menawan. Akibat sikap mereka, Muhammad pernah tidak tidur dengan Zainab binti
Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur
tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tengah
dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab
berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit,
maukah engkau memberikan salah satu dan untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku
memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, dia meninggalkan Zainab
pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, dia tidak mendatangi Zainab selama
tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat
tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah
datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang
dirinya dan mengungkit-ungkit asal usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu
dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis.
Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa
tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku, suamiku
Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits riwayat Tirmidzi
juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, ‘Perempuan
Yahudi!’ dia menangis, kemudian Muhammad menghampirinya dan berkata, ‘Mengapa
engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita
Yahudiah.’ Kemudian Muhammad bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah
nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia
banggakan kepadamu?’ Muhammad kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah
engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah
satu bukti cinta Shafiyyah kepada Muhammad terdapat pada hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang
berkumpul menjelang dia wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku
ingin apa yang engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah
memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, dia berkata,
“Berkumurlah!” Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Dia menjawab, “Dari
isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah
Muhammad wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena
mereka selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen
terhadap Islam dan mendukung perjuangan Muhammad. Ketika terjadi fitnah besar
atas kematian Utsman bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia
pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah
bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di
Baqi’.