Asal Mula Bani Umayyah
Nama Daulah Amawiyah tidak
lain adalah Bani Umayyah. Daulah Amawiyah berasal dari nama Umayyah ibnu ‘Abdi
Syam ibnu ‘Abdi Manaf,yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimipin kabilah
Quraisy dizaman Jahiliyah. Umayyah senantiasa bersaing dengan pamannya, Hasyim
ibnu ‘Abdi Manaf. Persaingan ini terjadi karena sama-sama ingin merebut
pengaruh (kehormatan) di tengah-tengah masyarakatnya. Pada waktu
itu, siapa yang memiliki pengaruh paling besar, maka ia langsung diangkat
menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat. Begitulah persaingan antara
keduanya terus berlanjut hingga saling mengalahkan. Jadi tak mengherankan bila
dalam persaingan ini berujung pada permusuhan.
Dalam persaingan tersebut,
Umayyah memperoleh kemenangan dan dapat merebut kekuasaan. Sebab ia merupakan
salah satu kabilah yang sangat terhormat dan disegani, mempunyai banyak harta
kekayaan dan juga banyak memiliki keturunan sepuluh orang putra yang kesemuanya
terpandang. Ketiga unsur ini merupakan potensi besar yang membawa keturunan
Umayyah menjadi penguasa bangsa Arab Quraisy saat itu.
Setelah agama Islam datang
hubungan antara Bani Umayyah dengan saudara-saudara sepupu mereka Bani
Hasyim semakin tegang (tidah harmonis). Persaingan-persaingan untuk merebut
kehormatan dan kekuasaan tadi berubah menjadi permusuhan yang lebih nyata.
Bani Umayyah dengan tegas
menentang Rasulullah saw dalam mengembangkan agama Islam. Sebaliknya Bani
Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulullah saw, baik mereka yang sudah
masuk Islam ataupun yang belum masuk Islam sama sekali. Pada waktu Rasulullah
saw bersama ribuan kaum muslimin menduduki kota Mekkah, pada saat itulah Bani
Umayyah menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Rasulullah.
Walaupun Bani Umayyah pernah
memusuhi Rasulullah saw dengan tindakannya yang keras, namun setelah masuk
Islam mereka dengan segera dapat menunjukkan semangat kepahlawanan yang sulit
dicari tandingannya. Mereka telah banyak sekali mencatat prestasi dalam
penyiaran agama Islam, antara lain peperangan yang dilancarkan dalam memerangi orang
murtad, orang-orang yang mengaku dirinya nabi atau rasul, dan orang yang enggan
membayar zakat (ketika Umayyah bergabung dengan khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq).
Proses dan sebab-sebab berdirinya berdirinya Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan
Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh
tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah
Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya
sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya
para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam
mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah
pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan
pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan
bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian
mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan
sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H.
Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan
kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat
menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok
masyarakat pendukung dari Kuffah ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang
merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Syiria dan Marwan
bin Hakam yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris
khalifah.
Dalam suatu catatan yang di
peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan
Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur
darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi
Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang
berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di
Shiffin 38 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan
kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian
khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah,
Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan
lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas
segala perintahnya.
Muawiyah menolak kepemimpinan
tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru
untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak
mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil
mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan
orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum.
Khalifah Ali bin Abi Thalib
berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan
sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daeraha seperti
Kuffah, Bashrah, dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi
Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk
keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib
berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan
yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya
Hasan dan Husain serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga
untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang
mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru
keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang
berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi
seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba
memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Kemelut yang di hadapi
khalifah Utsman bin Affan sebenarnya telah tercium jauh-jauh hari sebelumnya.
Bahkan dengan perantara kurir bernama Mussawir bin Makharramah, pesan dari
khalifah Utsman bin Affan ini tidak dilaksanakan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan
yang datang dikawal oleh dua orang kepercayaannya yaitu Muawiyah bin Khudaj dan
Muslim bin Uqbah serta menyarankan agar khalifah Utsman pindah ke Syam dengan
alasan karena ia akan di kelilingi oleh orang-orang Muawiyah yang setia.
Usulan yang diajukan Muawiyah
ini tidak diterima oleh khalifah Utsman bin Affan yang berpendapat bahwa
Madinah adalah ibukota kekhalifahan dan masih banyak para shahabat yang setia
serta disana pula ada makam Nabi.
Sebelum menguraikan sejarah
sejarah lebih lanjut tentang prose terbentuknya Dinasti Umayyah ini, terlebih
dahulu marilah kita tengok proses terbentuknya kejadian yang menyebabkan proses
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga setelah wafatnya
Rasulullah saw.
Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di
daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia
tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini
di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir.
Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para
pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana
yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin
Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas
permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan
posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin
Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa
surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan
kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat.
Umat Islam Mesir melakukan
protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan.
Mereka juga tidak menyenangi atas system pemerintahan yang sangat sarat dengan
kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan
segeras menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks ,
sehinggatidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat
itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah
khalifah,sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Meninggalnya khalifah Utsman
bin Affan pada tahun 35 H/656 M dan terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah baru sangat mengguncangkan keluarga Bani Umayyah. Mereka berusaha
mencari informasi siapa pembunuh Utsman sebenarnya dan mereka akan menuntut
kematian khalifah dengan cara melakukan balas dendam.
Akhirnya mereka mendapat informasi
bahwa orang yang patut di curigai membunuh khalifah Utsman bin Affan adalah
Muhammad bin Abu Bakar. Mereka menuntut khalifah Ali bin Abi Thalib agar
Muhammad bin Abu Bakar segera di tangkap dan di adili. Tuntutan itu tentu saja
tidak segera dikabulkan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, karena tuntutan itu
tidak jelas maka khalifah Ali bin Abi Thalib menolak tuntutan yang di ajukan
oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.
Tuduhan yang di arahkan kepada
Muhammad bin Abu Bakar dan khalifah Ali bim Abi Thalib sebenarnya menjatuhkan
kekuasaan khalifah yang sah. Keadaan ini jelas sangat jauh berbeda dengan gaya
kepemimpina khalifah Ali bin Abi Thalib yang tegas, lugas, dan jujur.
Beberapa gubernur yang diganti
antaralain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan
Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan
serta masyarakat Syam.
Pendapat khalifah Ali bin Abi
Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan
bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena
ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang
dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.
USAHA UNTUK MEMPEROLEH KEKUASAAN
Wafatnya khalifah Ali bin Abi
Thalib karena terbunuh oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam pada
tahun 661 M menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat
Islam khususnya para pengikut setia Ali. Oleh karena itu, tidak lama berselang
umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at)
atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi
Thalib.
Proses penggugatan itu
dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini
(bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada
saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin
Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib
Pengangkatan Hasan bin Ali di
hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan
dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Hal ini disebabkan karena
Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan
tertinggi dalam dunia Islam.
Perdebatan apapun yang terjadi
pada saat itu, yang jelas realitas politik menunjukkan bahwa sepeninggalan Ali
bin Abi Thalib, sebagian penduduk besar Kuffah, Bashrah dan Madinah sudah
melakukan sumpah setia.
Inilah yang menjadi
puncak-puncak persoalan politik Islam setelah kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Muawiyah bin Abi Sufyan yang tidak menyayangi keputusan pengangkatan Hasan bin
Ali segera menyusun kekuatan khalifah Hasan.
Mendengar rencana yang telah
dilakukan oleh Muawiyan bin Abi Sufyan tersebut, maka Qays bin Sa’ad
dan Abdullah bin Abbas menyarankan kepada Hasan untuk melakukan penyerangan ke
Damaskus. Sebelum pasukan Muawiyah menyerang, stategi yang dilakukan Muawiyah
yang melakukan urat saraf (psywar) ini memang sangat efektif. Menurut sejarawan
Muslim Al-Thabari, karena kecewanya para pendukung Hasan atas perhentian perang
menyebabkan mereka melakukan tindakan kekerasan dengan menyerbu masuk kerumah
Hasan dan merusak kehormatan serta merampas harta bendanya.
Untuk mengetahui persoalan
tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali
perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr
bin Salmah Al-Arhabiyang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan
bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada
Muawiyah dengan syarat antaralain:
- Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
- Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalin besertas keluarganya.
- Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
- Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
- Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi
semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah
bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah.
Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di
ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya seperti
Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Proses penyerahan dari Hasan
bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama
Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah
berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam
menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak
mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak
henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan
dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah
dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya
kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan
Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun.
Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang
didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi
pilihan mereka.