`Ali bin Abi Thalib
lahir (Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadhan 40/24 Januari 661). Khalifah keempat
terakhir dari al-Khulafa ar-Rasyidin (empat khalifah besar); orang pertama yang
masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi saw. yang kemudian menjadi
menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasim bin Abdul Manaf,
adalah kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah bin Abdul Mutholib. Ibunya bernama
Fatimah binti As’at bin Hasyim bin Abdul Manaf. Sewaktu lahir dia di beri nama
Haidarah oleh ibunya. Namun kemudian di ganti ayahnya dengan Ali.
Ketika berusia enam
tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi saw. sebagaimana Nabi saw. pernah
diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul, Ali baru
menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam,
setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia selalu bersama
Rasulullah saw, taat kepadanya dan banyak menyaksikan Rasulullah saw, menerima
wahyu. Ia anak asuh Rasulullah saw, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia
ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis.
Sewaktu Rasulullah hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar
al-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah saw. dan
tidur di tempat tidurnya. ini dimaksudkan untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya
mereka menyangka bahwa Nabi masih berada di rumahnya. Ketika itu kaum Quraisy
merencanakan untuk membunuh Nabi saw. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan
sejumlah barang titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan
tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikitpun merasa
takut. Melalui cara itu Rasulullah saw. dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota
Mekah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy.
Setelah mendengar Rasulullah saw. dan Abu Bakar telah
sampai ke Madinah, Ali menyusul ke sana. Di Madinah ia dikawinkan dengan
Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah saw. yang ketika itu tahun ke 2 H beliau
berusia 15 tahun.
Ali menikah dengan sembilan wanita dan mempunyai 19
orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari fatimah, Ali mendapat dua
putra dan dua putri. Yaitu Hasan, Husein, Zainab dan Ummu Kalsum yang kemudian
diperistri oleh Umar bin Khattab. Setelah Fatimah wafat Ali menikah lagi
berturut-turut dengan:
- Ummu Bamin bin Hisyam dari bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra yaitu Abbas, Ja’far, Abdullah dan Usman.
- Laila binti Mas’ud at-Tamimyah yang melahirkan dua putra yaitu Abdullah dan Abu Bakar.
- Asma binti Umar al-Quimiah, yang melahirkan dua putra yaitu Yahya dan Muhammad.
- as-Sahbah binti Rabiah dari bani Jasyim bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang melahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah.
- Umamah binti Abi Ass bin ar-Arrab, putri Zainab binti Rasulullah saw. yang melahirkan satu anak yaitu Muhammad.
- Khanlah binti Ja’far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah).
- Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-Husain dan Ramlah.
- Mahyah binti Imri’ al-Qais al-Kabiah, yang melahirkan seorang anak bernama Jariah.
Ali terkenal sebagai panglima perang yang gagah
perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah
pedang (warisan dari Nabi saw.) bernama “Zulfikar”. Ia turut serta pada hampir
semua peperangan yang terjadi di masa Nabi saw. dan selalu menjadi andalan pada
barisan depan.
Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah
keagamaan secara mendalam sebagaimana tergambar dari sabda Nabi saw. “aku adalah
kotanya ilmu pengetahuan sedang Ali sebagai pintu gerbangnya”. Karena
itu, nasehat dan fatwanya selalu di dengar para Khalifah sebelumnya. Ia selalu
di tempatkan pada jabatan kadi atau Mufti.
Ali diberi juga julukan (gelar) Abutturab (arti letterliknya
“pak tanah”) dijuluki demikian, karena pada suatu saat ia tidur di Masjid,
pakainya terlepas dari badan, hingga ia tidur di atas tanah tanpa alas.
Kemudian ia dibangunkan oleh Nabi, sambil berkata, “bangunlah, hai Abutturab”
dan gelar itulah tampaknya amat di sukainya.
Dialah seorang anak kecil yang mula pertama
membenarkan tindak tanduk Nabi saw. dan masuk Islam sedang umurnya baru
menginjak delapan tahun. Berarti ia memiliki jiwa yang tidak dikotori oleh
keadaan-keadaan jahiliah dan satu kalipun tidak pernah ikut menyembah berhala,
karena itu kepadanya disebutkan: “Karramallahu Wajahahu” yang artinya: semoga
Allah memuliakan Wajahnya, sementara kepada para sahabat lainnya hanya
disebutkan “Radliallahu ‘Anhu” yang artinya, semoga Allah Meridhoinya.
Ali terkenal sebagai seorang yang tidak mencintai
dunia meskipun bila ia mau, peluang untuk itu sangatlah mudah. Ia ahli dalam
berpidato, memiliki sastra dan juga bahasa yang indah dengan lidah yang fasih.
Ia juga hafal Al-Qur’an serta mengumpulkannya dan membetulkannya di hadapan
Nabi.
Ali adalah orang pertama dari golongan Bani Hashim
yang menjadi khalifah, seorang yang mula-mula meletakkan dasar ilmu Nahwu atau
Gramatika Bahasa Arab. Dia juga yang diserahi untuk melakukan perang tanding
pada permulaan dan pendahuluan perang Sabil yang pertama, yaitu perang Badar.
Pantaslah kalau ia termasuk kelompok sepuluh yang disebutkan oleh Nabi yang
dijamin masuk surga.
Ali bin Abi Thalib juga seorang yang mendapat
kehormatan dan kepercayaan Nabi saw. dengan mengutusnya ke Negeri Yaman, ketika
usianya masi sangat muda belia, tapi ia di do’akan oleh Nabi : “Ya Tuhan,
pimpinlah hatinya dan tetapkanlah lidahnya” sehingga seluruh sahabat mengakui
bahwa Ali-lah orang yang dipandang lebih mengetahui tentang Hukum dan
Peradilan.
Ali juga pernah mendapat kehormatan untuk menjabat
sebagai wakil Nabi yaitu menjadi Wali Kota Madinah ketika Nabi pergi bersama
Jaisu Usrah diperang Tabuk. Ketika Ali berkata kepada Nabi, “Ya Rasulullah,
mengapa tuan tinggalkan saya bersama orang-orang perempuan dan anak-anak”? lalu
dijawab oleh Nabi,
اِنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِعَلٍّى : أَنْتَ مِنِّى بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ مُّوْسَى اِلَّااَّنَهُ
لَانَبِيَّ بَعْدِى
Terjemahan :
“Bahwasanya Nabi saw berkata kepada Ali: “Enkau bagiku
seperti Nabi Harun menempati posisi Nabi Musa”, kecuali sesungguhnya tidak ada
lagi Nabi sesudahku.” (H.R. Ahmad dan Bazzar).
Jadi ia mengikuti semua perang sabil yang di lakukan
oleh Nabi kecuali perang tabuk ia bertugas di Madinah.
Sebagai seorang sahabat Nabi, ia juga memiliki kemauan
dan kelebihan. Ia adalah seorang yang pemurah, dermawan rendah hati,
ramah tamah, jujur, amanah (dapat dipercaya) qana’ah (mencakup dengan apa
yang ada dengan tidak berlebih-lebihan), adil disiplin dan banyak
lagi.
Pemerintahan dan Situasi Politik Pada Masa Ali bin Abi
Thalib
Situasi Politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Situasi politik menjelang pengangkatan Ali bin Abi
Thalib cukup rawan mengingat Usman terbunuh di tangan pemberontak. Pada
kesempatan tersebut, Ibn Harb memegang kendali keamanan kota Madinah sampai
terpilihnya seorang Khalifah yang baru.
Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin
meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi Khalifah. Mereka beranggapan bahwa
kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi Khalifah setelah
Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan
urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl
asy-Syura” bersama para pejuang Perang Badar.
Pengangkatan Syaidina Ali menjadi Khalifah tidaklah
sebagaimana yang dilakukan terhadap Abu Bakar dan Umar, sebab hanya orang-orang
yang Pro terhadap Ali yang melakukan Baiat (penobatan) itu. Ali memegang
jabatan pada hari Jum’at 13 Zulhijjah 35 Hijriah, dan orang yang pertama kali
melakukan baiat terhadap Syaidina Ali adalah Thalhah yang akhirnya justru
memihak Mu’awiyah.
Setelah pembaiatan, Ali mengucapkan pidato yang isinya
antara lain: “Wahai manusia, kamu telah membaiat saya sebagaimana yang
telah dilakukan kepada Khalifah-khalifah yang dahulu dari padaku. Saya hanya
menolak sebelum jatuh pilihan, apabila pilihan telah jatuh, menolak tidak boleh
lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus patuh. Baiat terhadap diriku ini adalah
yang rata, yang umum. Barang siapa yang mungkir dari padanya terpisahlah ia
dari agama Islam.
Banyaknya peperangan yang terjadi pada masa pemerintahan
Ali dan yang terpenting adalah dua hal, yaitu peperangan jamal (unta) dan
peperangan Siffin.
Prinsip Politik Ali bin Abi Thalib
Prinsip Politik Ali tergambar bahwa ia seorang yang
berani, yang memiliki kepribadian yang mulia bahkan sebagai seorang anak asuh
Rasulullah ia banyak menerima ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala
persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis. Sebagaimana telah disebutkan
terdahulu, ia mengikuti Rasulullah sejak kecil baik dalam suka dan duka, dan
tentunya hal tersebut mempengaruhi dalam melaksanakan pemerintahannya.[9]
Meskipun di belakang hari ia tidak mampu untuk mengembalikan pemerintahan
sebagaimana Rasulullah karena situasinya yang cukup berbeda. Hal yang menonjol
prinsip Ali adalah kompromi politik, hal tersebut tergambar pada saat
pemberontakan Thalhah dan sekutu-sekutunya.
Kebijakan Politik Ali bin Abi Thalib
Tindakan dan kebijaksanaan Ali setelah resmi memegang
jabatan Khalifah adalah memberhentikan semua gubernur yang diangkat oleh Usman,
termasuk Mu’awiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah yang
dibagikan di zaman Usman kepada keluarganya ditarik kembali. Khalifah Ali
juga menerapkan pengawasan yang sangat ketat agar tidak terjadi penyelewengan
oleh para pejabat pemerintah. Ternyata para pejabat baru yang diangkat
oleh Ali menimbulkan Pro dan Kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang menerima
dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti Mesir dan
Basrah. Penggantian para pejabat baru ini dilakukan oleh Ali pada awal tahun 36
Hijriyah.
Pemerintahan Ali juga berhasil memperluas wilayah
kekuasaan setelah pemberontakan di Kabul dan Sistan ditumpas, ia juga
mendirikan pemukiman-pemukiman meliter perbatasan Syria dan membangun
benteng-benteng yang kuat di utara perbatasan Parsi.
Dalam pengelolaan uang negara Khalifah Ali mengikuti
prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar, harta rakyat dikembalikan
kepada rakyat. sikap jujur dan adil yang diterapkan oleh Ali ini, menimbulkan
amarah di antara sejumblah pendukungnya sendiri dan kemudian berpihak kepada
Mu’awiyah. Khalifah Ali juga menberi contoh mengenai persamaan di depan hukum
dan peradilan, hal ini menunjukkan bahwa prinsip persamaan semua lapisan sosial
dan etnik di depan hukum, dan peradilan bebas diteruskan oleh Ali sebagaimana
pada masa-masa sebelum sejak masa Rasulullah.
Latar Belakang Adanya Tantangan dari Khawarij, Thalhah
dan Mu’awiyah
Pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan
kebijakan-kebijakannya untuk memulihkan situasi umat Islam tidaklah mulus
mengingat Thalhah, Khawarij dan Mu’awiyah, menuntut agar kasus pembunuhan
Khalifah Usman segera ditangkap dan mereka segera dibawa ke meja hijau.
Namun tuntutan mereka itu tidak dikabulkan oleh Ali dengan beberapa alasan:
Pertama Karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang
penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan
mengkonsolidasikan kedudukan-kedudukan Khalifah. Kedua Menghukum para pembunuh
bukanlah perkara mudah. Khalifah Usman tidak di bunuh oleh hanya satu orang
saja, melainkan banyak orang yang melakukan pembunuhan tersebut.
Dia pun menghindari pertikaian dengan Thalhah dan
sekutunya. Tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit untuk di capai. Maka
kontak senjata pun tak dapat dielakkan lagi, sehingga Thalhah dan Zubair
terbunuh sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan
nama “waqi’ah al-Jamal” (perang Unta/Jamal) yang terjadi pada tahun
36 Hijriyah, dalam peperangan itu, pihak Ali bin Abi Thalib memperoleh
kemenangan.
Tantangan selanjutnya muncul dari Mu’awiyah, yang
tidak menerima pemberhentiannya, yang pada akhirnya terjadi peperangan antara
pasukan Mu’awiyah dan pasukan Ali bin Abi Thalib di Siffin. Ali bin Abi Thalib
pada mulanya tidak menginginkan terjadinya pertempuran tersebut, tetapi
Mu’awiyah tak mengindahkannya sehingga mengakibatkan jatuhnya banyak korban
dari kedua belah pihak. Namun pada akhirnya pertempuran tersebut dapat
dihentikan dengan meminta diadakannya perdamaian antara kedua belah pihak
dengan cara mengangkat kitab suci Al-Qur’an sebagai symbol perdamaian.
Kelicikan Mu’awiyah ini disambut baik oleh Khalifah Ali dengan mengadakan
gencatan senjata. Kedua belah pihak mengambil jalan Tahkim (arbitrase) untuk
mengakhiri pertempuran, masing-masing pihak mengangkat satu wakil untuk
mengadakan perundingan, dari pihak Mu’awiyah di utus Amr bin Ash sedangkan dari
pihak Ali mengangkat Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil.
Dari pertemuan mereka, diputuskan bahwa Mu’awiyah dan
Ali bin Abi Thalib harus melepaskan jabatannya. Namun setelah Abu Musa
al-Asy’ari mengumumkan untuk meletakkan jabatan Ali bin Abi Thalib dan Amr bin
Ash justru menolak menjatuhkan Mu’awiyah. Peristiwa Tahkim secara politik
merugikan pihak Ali.
Keputusan Ali untuk mengadakan tahkim pun telah
menuai protes dari sebagian pasukannya, yang kemudian keluar dari pasukan Ali
dan dikenal dengan nama “Khawarij”. Mereka berpegang pada prinsip bahwa
kebenaran yang sesungguhnya itu bukanlah semata-mata hanya berada ditangan
manusia. Sebagaimana mereka berberpegang pada firman Allah Qs. al-Maidah (5) :
44
Terjamahan : Sungguh, kami yang menurunkan
Kitab Taurat, di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para
Nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang
Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka
diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah.
Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang kafir.
Dengan pandangan kaum Khawarij tersebut, mereka
merencanakan untuk membunuh tokoh-tokoh yang ikut dalam peristiwa Tahkim, dan
hal ini telah berhasil membunuh Ali pada tahun 40 H, ketika Ali menuju ke
Masjid hendak mengimami shalat berjama’ah Subuh.
Ali ra. Terbunuh pada malam Jum’at waktu sahur pada
tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Ada yang mengatakan pada bulan Rabi’ul Awwal.
Namun pendapat pertama lebih shahih dan populer.
Ali ra. ditikam pada hari Jum’at 17 Ramadhan tahun 40
H, tanpa ada perselisihan. Ada yang mengatakan bahwa dia wafat pada hari dia di
tikam, ada juga yang mengatakan pada hari Ahad tanggal 19 Ramadhan.
Al-fallas berkata, “Ada yang mengatakan, dia ditikam
pada malam dua puluh satu Ramadhan dan wafat pada malam dua puluh empat dalam
usia 58 atau 59 tahun.
Ada yang mengatakan, dia wafat dalam usia 63 tahun.
Itulah pendapat yang masyhur, demikian di tuturkan oleh Muhammad bin
al-Hanafiyah, Abu Ja’far al-Baqir, Abu Ishaq as-Sabi’i dan Abu Bakar bin Ayasy.
Sebagian ulama lain mengatakan, wafat dalam usia 63 atau 64 tahun. Diriwayatkan
dari Abu Ja’far al-Baqir, katanya, “wafat dalam usia 64 tahun.”
Masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib lima tahun kurang
tiga bulan. Ada yang mengatakan empat tahun sembilan bulan tiga hari. Ada yang
mengatakan empat tahun delapan bulan dua puluh tiga hari.
Secara umum prestasi Khulafa’ al-Rasyidin dalam
hal perluasan wilayah, diawali pada masa Abu Bakar dan mencapai titik
tertingginya pada masa Umar dan relativ berhenti pada masa Ali yang
kekhalifaannya lebih banyak diliputi oleh banyak pertikaian internal sehingga
tidak memungkinkan ekspansi lebih jauh. Pada akhir satu generasi pasca
Muhammad, inperium Islam telah membenteng dari Oxus hingga Syrtis di Afrika
sebelah Utara.
Demikian gambaran tentang kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin
yang kemudian menjadi inspirasi bagi sebagian orang untuk mendirikan Negara
Islam, namun dalam waktu yang bersamaan justru kepemimpinan tersebut dipahami
sebagai dasar demokrasi tanpa harus memformalkan dalam bentuk Negara
Islam.
Kesimpulan
Setelah Usman terbunuh Ali bin Abi Thalib pun ditunjuk
sebagai Khalifah keempat. Namun perjalanan kekhalifaan Ali tidaklah berjalan
mulus, karena munculnya banyak tekanan akibat pembunuhan Khalifah Usman bin
Affan.
Kebijakan Ali bin Abi Thalib dalam rangka pemulihan
stabilitas pemerintahan justru kemudian memicu pemberontakan baru seperti
penggantian Umaiyyah. Selanjutnya dalam internal pasukan Ali sendiri muncul
pemberontakan akibat adanya arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah, kelompok ini
yang kemudian dikenal dengan Khawarij yang di belakang hari mereka membunuh
Ali.
Catatn kaki
[1] Abdullah Annan, Gerakan-Gerakan yang Mengguncang
Islam (Sejarah Awal Perpecahan Umat) (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif,
1993), h. 12-13.
[2] Ensiklopedi Islam, (Cet. III, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997) h. 111-112
[3] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah,
dan Pemikiran (Cet. V; Jakarta: Rajawali Pers 2002), h. 204
[4] Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan
Pemikiran Islam dari Masa ke Masa (Cet. I; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985). h.
97-100
[5] Ibid., hlm. 112
[6] Fuad Mohat. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan
Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), h. 29
[7] . Muhamin, dkk. Kawasan dan Wawasan Studi Islam
(Cet. 2; Jakarta: Kencana 2007), h. 241
[8] . A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 1, (Cet.
VI; Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2003), h. 247
[9] Imam Munawir, op. cit; h. 98
[10] Ibid., h.155.
[11] Ibid., h. 158
[12] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradapan Islam (Cet.
I; Jakarta: Amzah, 2009 ), h.110-111
13] Departemen Agama RI.
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara/Penafsiran Al-Qur’an,
1971), h. 167
[14] Nurcholish Majid.
Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah keimanan,
Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina. 1992), h. 205
[15] Philip K. Hitti,
Histroy of The Arabs; From The Earlies Times to The Present, diterjemahkan oleh
R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Cet. I; Jakarta : PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2005) h. 217-218
Daftar Pustaka
Amin, Samsul Munir.
Sejarah Peradapan Islam Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009
Annan, Abdullah.
Gerakan-Gerakan yang Mengguncang Islam, Sejarah Awal Perpecahan Umat Cet. I;
Surabaya: Pustaka Progresif, 1993
Departemen Agama RI.
Al-Qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Yayasan Penyelenggara/Penafsiran Al-Qur’an,
1971
Ensiklopedi Islam,
Cet. III, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
Fachruddin, Fuad
Mohat. Perkembangan Kebudayaan Islam Cet. I; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988
Hitti, Philip K.
Histroy of The Arabs; From The Earlies Times to The Present, diterjemahkan oleh
R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi Cet. I; Jakarta : PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2005
Majid. Nurcholish
Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah keimanan,
Kemanusiaan dan Kemoderenan Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina. 1992
Muhamin, dkk. Kawasan
dan Wawasan Studi Islam Cet. 2; Jakarta: Kencana 2007
Munawir, Imam. Mengenal
Pribadi 30 Pendekar dan Pemikiran Islam dari Masa ke Masa Cet. I; Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1985
Pulungan, Suyuthi.
Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran Cet. V; Jakarta: Rajawali Pers
2002Syalabi, A. Sejarah Kebudayaan Islam 1, Cet. VI; Jakarta: PT. Pustaka
al-Husna Baru, 2003