Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berusaha menaklukkan kembali
daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan
memantapkan keamanan daerah pembatasan. Di antara usaha- usahanya tersebut
adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia
pada tahun 756-758 M.
Ke Utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan
mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine
V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bazantium membayar upeti tahunan. Bala
tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di
laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.
Daerah kekuasaan Bani Abbasiyah sama dengan daerah kekuasaan Bani Umayyah, tetapi tidak termasuk Andalusia.
Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”, artinya sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi- Nya.
Daerah kekuasaan Bani Abbasiyah sama dengan daerah kekuasaan Bani Umayyah, tetapi tidak termasuk Andalusia.
Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”, artinya sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi- Nya.
Dengan demikian, konsep khilafah dalam
pandangannya dan berlanjut dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut
nabi sebagai pada masa al-Khulafa al-Rasyadun.
Di samping
itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, dalam penggunaan
khalifah disebut “Khalifah Allah”, artinya penguasa yang diangkat oleh Allah. Dalam dinasti Abbasiyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far. “gelar tahta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya. Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada delapan khalifah sesudahnya, yaitu :
khalifah disebut “Khalifah Allah”, artinya penguasa yang diangkat oleh Allah. Dalam dinasti Abbasiyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far. “gelar tahta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya. Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada delapan khalifah sesudahnya, yaitu :
- Al-Mahdi (775-785 M),
- Al-Hadi (775-786 M),
- Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M),
- Al-Amin (809-813 M),
- Al- Ma’mun (813-833 M),
- Al- Mu’tashim (833-842 M),
- Al-Wasiq (842-847 M), dan
- Al-Mutawakkil (847-861 M).[6]
Pada masa
khalifah Al-Mahdi (775-785 M), perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan
disektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti
perak, emas, tembaga, dan besi. Serta dagang transit antara Timur dan Barat
juga membawa kejayaan.
Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Pada masa
khalifah ketiga ini, para tahanan penjara yang sebelumnya dipenjara sebelum ia
memerintah dikeluarkan kecuali yang melakukan kesalahan. Kemudian iapun membuat
jalan untuk menuju Mekkah dan membangun perairan dari sumur- sumur besar untuk
minum para musafir, dan dialirkan ke penjara-penjara serta dijaga
kebersihannya. Iapun merehabilitasi masjid Al-Haram dan ia menghilangkan nama
al-Walaid bin Abdil Malaik dari dinding masjid Al-Haram dan diganti namanya.
Kemudian ia juga membuat kantor-kantor pos surat untuk penduduk Mekkah,
Madinah, dan Yaman, dan menunjuk wakil-wakil raja di berbagai Daulat Abbasiyah.
Pada masa khalifah al-Mahdi, Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional
dan perkembangan berbagai ilmu, seperti Assyiir hikmah, adab,, dan musik.[7]
Pada masa Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), dan putranya Al- Ma’mun (813-833 M),
daulat Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya. Pada masa Al- Harun Al-Rasyid
sebagai khalifah menggantikan khalifah Al-Mahdi, kekayaan yang dimiliki
dimanfaatkan untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter,
dan farmasi didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter.
Di samping itu, pemandian pamandian umum juga dibangun. Tingkat
kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada masa khalifah ini. Kesejahteraan
sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada masa keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam
menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Dalam tradisi
Persia terdapat Jundishapur Academy, lembaga yang menjadi tempat menyimpan
puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja pada Sasania, kemudia Al-Harun
Al-Rasyid melanjutkan tradisi itu dengan mendirikan Khizanat al-Hikmat yang
berfungsi sebagai perpustakaan, tempat penerjemahan, dan penelitian.[8] Pada
masa Al-Harun Al-Rasyid, sebelum meninggal ia telah menyiapkan dua anaknya yang
diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah, yaitu Al- Amin dan Al-Ma’mun.
Al-Amin diberi hadiah berupa wilayah bagian Barat sedangkan Al- Ma’mun diberi
hadiah berupa wilayah bagian timur. Pada masa khalifah Al-Ma’mun (813-833 M),
yang menggantikan khalifah Al-Harun Al-Rasyid, dikenal dengan khilafah yang
sangat cinta kepada ilmu.
Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku
digalakkan. Untuk menerjemahkan buku- buku Yunani, ia menggaji
penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan menganut agama lain yang lain.
Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah
pembangunan Bayt al- Hikmat, yang dahulu bernama Khizanat al-Hikmat, didirikan
oleh Al-Harun Al-Rasyid. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, Etiopia, dan India. Di Bayt
al-Hikmat, Al-Ma’mun memperkerjakan Muhammad Ibn Musa Al-Hawarijmi yang ahli
dalam bidang aljabar dan astronomi, dan orang-orang Persia.[9] Sejak abad ke 9
M. Bayt al- Hikmat dijadikan tempat penerjemah karya-karya filosof klasik di
bawah bimbingan Hunyn Ibn Ishaq. [10] mereka menerjemahkan buku-buku filsafat
karya Galen, Aristoteles, dan Plato. Di Bayt al-Hikmat juga terdapat
observatorium astronomi untuk meneliti perbintangan. Pada masa Al- Ma’mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pada masa
Al-Ma’mun, faham mu’tazilah menjadi madzhab resmi dinasti Bani Abbas (827 M),
karena Al-Ma’mun penganut aliran Mu’tazilah dan banyak dipengaruhi oleh ilmu
pengetahuan dan falsafat Yunani.
Harun Nasution menjelaskan bahwa faham Mu’tazilah yang dijadikan alat oleh al-Ma’mun untuk menguji para pemuka agama dan hakim adalah ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an. [11] Dalam pandangan Mu’tazilah, al-Qur’an tidak qadim (dahulu), tetapi muhdats (baru). Karena sebagian (ayat) Al-Qur’an diturunkan lebih dahulu dari yang lainnya sedangkan sesuatu yang qadim tidak mungkin didahului oleh yang lain (idz al-qadim huwa ma la yataqaddamuh ghayruh). Aliran Mu’tazilah beragumentasi dengan Al-Quran surat Al-Hijr ayat 9. Pada masa Al-Mu’tashim (833-842 M), sebagai khalifah selanjutnya, memberikan peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keteribatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal.
Tidak seperti pada masa daulat
Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik
orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara
khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan
militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam
periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas,
baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan- gerakan itu
seperti gerakan Syi’ah dan konflik antarbangsa serta aliran pemikiran
keagamaan, semua dapat dipadamkan. Pada Masa Al-Watsiq, sebagai khalifah
selanjutnya. Al-Watsiq berusaha melepaskan diri dari pengaruh Turki dengan
memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Samarra. Namun, khalifah Al-Watsiq menjadi
mudah dikuasai oleh tentara pengawal Turki. Kemudian khalifah Al-Watsiq
digantikan oleh Al-Mutawakkil sebagai khalifah besar terakhir, khalifah
sesudahnya umumnya lemah-lemah dan tidak dapat melawan tentara pengawal dan
Sultan-sultan yang menguasai ibu kota. Ibu kota kembali dipindahkan ke Baghdad
oleh khalifah al-Mu’tadhid. Dari gambaran di atas terlihat bahwa, Terdapat
beberapa perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah :
1) Dengan ibukota
Bagdad, pemerintahan menjadi jauh dari pengaruh Arab
2) Dalam stuktur Negara,
Bani Abbas terdapat Wazir ( Perdana menteri )
3) Terbentuknya militer professional
pada Bani Abbas
4) Bani Abbas lebih menekankan kepada pembentukan peradaban
Islam dan
5) Perkembangan kebudayaan daripada ekspansi[12]
5) Perkembangan kebudayaan daripada ekspansi[12]
Pengaruh
dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan
terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi
juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua
metode, penafsiran pertama, tafsir bi
al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi
dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode
rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits
dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan
Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi (tafsir rasional),
sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi Perkembangan logika di kalangan umat
Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam
madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama.
- Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat pada zaman Harun Ar-Rasyid.
- Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan
- Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Di samping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
- Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas.
- Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam.
Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235
H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang
teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan
al-Asy'ari (873-935 M)
yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika
Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah.
Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani
Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan
transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh
gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama
di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan
sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama
kali menyusun astrolobe. Al-Farghani,
yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus,
menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard
Cremona dan Johannes
Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi danIbnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang
membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang
menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di
tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang
juga seorang filosof berhasil
menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran
paling besar dalam sejarah.
Dalam
bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di
Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang
pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya
yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di
bidang kimia,
terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam
seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan
mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga
mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam
bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin
al-Jawahir.
Tokoh-tokoh
terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku
tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap
filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang
buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di
Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam
bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia
Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah
satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang
pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak
golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang
penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan
Yunani dan Hindu,
dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa.
Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles
terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu
geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan
Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki
lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan
sebagainya.
Demikianlah
kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak
ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring
dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa
keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya
terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode
ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran.Wallahul
Musta’an.
.