A. PENDAHULUAN
Spanyol/Andalusia di kuasai oleh umat
Islam pada zaman Khalifah Al-Walid (705-715 M) salah seorang khalifah Daulah
Umayah yang berpusat di Damaskus[11].
Bani Umayyah merebut Spanyol dari bangsa Gothia pada masa khalifah al Walid ibn
‘Abd al Malik (86-96/705-715). Penaklukan Spanyol diawali dengan pengiriman 500
orang tentara muslim dibawah pimpinan Tarif ibn Malik pada tahun 91/710.
Pengiriman pasukan Tarif dilakukan atas undangan salah satu raja Gothia Barat,
dimana salah satu putri ratu Julian yang sedang belajar di Toledo ibu kota
Visigoth telah diperkosa oleh raja Roderick. Karena kemarahan dan
kekecewaannya, umat Islam diminta untuk membantu melawan raja Roderick. Pasukan
Tarifa mendarat di sebuah tempat yang kemudian diberi nama Tarifa. Ekspedisi
ini berhasil, dan Tarifa kembali ke Afrika Utara dengan membawa banyak
Ghanimah. Musa ibn Nushair, Gubernur Jenderal al Maghrib di Afrika Utara pada
masa itu, kemudian mengirimkan 7000 orang tentara di bawah pimpinan Thariq ibn
Ziyad. Ekspedisi II ini mendarat di bukit karang Giblartar (Jabal al Thariq)
pada tahun 92/711. Sehubungan Tentara Gothia yang akan dihadapi berjumlah
100.000 orang, maka Musa Ibn Nushair menambah pasukan Thariq menjadi 12.000
orang[12].
Pertempuran pecah di dekat muara sungai
Salado (Laguna de la Janda) pada bulan Ramadhan 92/19 Juli 711. Pertempuran ini
mengawali kemenangan Thariq dalam pertempuran-pertempuran berikutnya, sampai
akhirnya ibu kota Gothia Barat yang bernama Toledo dapat direbut pada bulan
September tahun itu juga. Bulan Juni 712 Musa ibn Nushair berangkat ke
Andalusia membawa 18.000 orang tentara dan menyerang kota-kota yang belum
ditaklukan oleh Thariq sampai pada bulan Juni tahun berikutnya. Di kota kecil
Talavera Thariq menyerahkan kepemimpinan kepada Musa, dan pada saat itu pula
Musa mengumumkan bahwa Andalusia menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Bani
Umayyah yang berpusat di Damaskus. Penaklukan Islam di Andaluisa oleh Thariq
hampir meliputi seluruh wilayah bagiannya, keberhasilannya tidak terlepas dari
bantuan Musa ibn Al Nushair[13].
Ketika Daulah Bani Umayyah Damaskus
runtuh pada tahun 132/750, Andalusia menjadi salah satu provinsi dari Daulah
Bani Abbas. Salah satu pangeran Dinasti Umayyah yang bernama Abd al Rahman ibn
Mu’awwuyah (Abdurrahman I), cucu khalifah Umawiyah kesepuluh Hisyam Ibn Abd al
Malik berhasil melarikan diri dari kejaran-kejaran orang-orang Abbasiyah
setelah runtuhnya pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus dan menginjakan kaki di
Spanyol. Atas keberhasilannya meloloskan diri ia diberi gelar al Dâkhil
(pendatang baru)[14].
Al Dâkhil memproklamirkan diri sebagai
khalifah dengan gelar amîr al mu’minîn. Sejak saat itulah babak kedua kekuasan
Dinasti Ummayah dimulai. Pemerintahan Bani Umayyah Spanyol (Bani Umayyah II)
merupakan pemerintahan pertama yang memisahkan diri dari dunia pemerintahan
Islam Dinasti Abbasiyah. Pendirinya adalah Abdurrahman ad Dakhil bin Mu’awiyah
bin Hisyam bin Abd Malik al Umawi.
Dengan demikian, maka dimulailah peradaban Islam baru di Spanyol yang dinamakan
Dinasti Umayyah Spanyol (Umayyah II)
Diantara khalifah - khalifah Umayyah II
yang terkemuka diantaranya :
- Abdurrahman ad Dakhil (755-788 M)
- Al Hakam bin Hisyam (796-821 M)
- Abdurrahman ibnul Hakam (821-852 M)
- Muhammad bin Abdurrahman (852-886 M)
- Abdullah bin Muhammad (889-912 M)
- Abdurrahman bin Muhammad (912-961 M)
Al Dâkhil berhasil meletakan sendi dasar
yang kokoh bagi tegaknya Daulah bani Umayyah II di Spanyol. Pusat kekuasan
Umayyah di Spanyol dipusatkan di Cordova sebagai ibu kotanya. Al Dâkhil
berkuasa selama 32 tahun, dan selama masa kekuasaannya ia berhasil mengatasi
berbagai masalah dan ancaman, baik pemberontakan dari dalam maupun serangan
musuh dari luar. Ketangguhan al Dâkhil sangat disegani dan ditakuti, karenanya
ia dijuliki sebagai Rajawali Quraisy. Pada masa didirikannya dinasti Umayyah II
ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan baik dibidang
politik maupun bidang peradaban. Abd al-Rahman al-Dakhil mendirikan masjid
Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam dikenal sebagai
pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di
Spanyol. Sedangkan Abd al-Rahman al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta
ilmu. Pemikiran filsafat juga mulai pada periode ini, terutama di zaman
Abdurrahman al-Ausath. Bani Umayyah II mencapai puncak kejayaannya pada masa al
Nashir dan kekuasaannya masih tetap dapat dipertahankan hingga masa
kepemimpinan Hakam II al Muntashir (350-366/961-976).
Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas
negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari
kesahidan (Martyrdom). Gangguan politik yang paling serius pada periode ini
datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M
membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu sejumlah
orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah
pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di
pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar
dan orang-orang Arab masih sering terjadi. Namun ada yang berpendapat pada masa
ini dibagi menjadi dua yaitu masa KeAmiran (755-912) dan masa ke Khalifahan
(912-1013)[15].
Jadi Gelar yang digunakan pada masa dinasti ini adalah Amîr, dan ini tetap
dipertahankan oleh penerusnya sampai awal pemerintahan amir kedelapan Abd al
Rahman III (300-350/912-961).
Proklamasi Khilafah Fathimiyyah di Ifriqiyah
(297/909, serta merosotnya kekuatan Daulah Abasiyyah sepeninggal al Mutawakkil
(232-247/847-861) mendorong Abd al rahman III untuk memproklamasikan diri
sebagai khalifah dan bergelar amîr al mu’minîn. Ia juga menambahkan gelar al
Nashir dibelakang namanya mengikuti tradisi dua khalifah lainnya[16].
Jadi penggunaan khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada
Abdurrahman III, bahwa Muktadir, Khalifah daulah Bani Abbas di Baghdad
meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilainnya, keadaan
ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam
kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk memakai
gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun
lebih. Karena itulah gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah
besar yang memerintah pada masa ini ada tiga orang yaitu Abd al-Rahman al-Nasir
(912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M).
Pada periode ini umat Islam
Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan daulat
Abbasiyah di Baghdad. Abd al-Rahman al-Nasir mendirikan universitas Cordova.
Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan
Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu
Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di
kota-kota tertentu.
Kekuasaan Umayyah mulai menurun setelah
al Muntashiru wafat. Ia digantikan oleh putera mahkota Hisyam II yang beru
berusia 10 tahun. Hisyam II dinobatkan menjadi khalifah dengan gelar al
Mu’ayyad. Muhammad ibn Abi Abi Amir al Qahthani yang merupakan hakim Agung pada
masa al Muntashir berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan dan menempatkan
khalifah dibawah pengaruhnya. ia memaklumkan dirinya sebagai al Malik al
Manshur Billah (366-393/976-1003) dan ia terkenal dalam sejarah dengan sebutan
Hajib al Manshur[17].
Demikian gambaran sepintas tentang
dinasti Umayyah I di Bagdad dan Umayyah II di Spanyol.
B. Perkembangan
agama dan Filsafat pada masa Bani Umayyah.
Konsep dasar kebijakan pemerintah Umar
bin Abdul Aziz dapat dilihat pada pidato pertama beliau sehari setelah dibaiat
segabai khalifah “sesungguhnya aku menasehatkan kalian untuk selalu bertaqwa
kepada Allah swt (dalam hidup dan kehidupan) serta meninggalkan segala hal yang
menjauhkan dari ketakwaan kepada-Nya. Perbanyaklah mengingat kematian, karena
ia pemutus segala kenikmatan (duniawi), maka persiapkanlah diri untuk menghadap
kematian dengan sebaik-baiknya. Sesungguhnya (kesesatan dan kehancuran) ummat
ini bukan pada perselisihan (dalam pemahaman dan peribadatan) terhadap Tuhan
maupun kitab suci tapi lebih pada pertentangan dalam masalah dinar dan dirham
(uang/urusan duniawi). Maka sesungguhnya aku tidak akan memberikannya dengan
bathil kepada seseorang dan tidak akan menahannya dari seseorang (jika memang
ia berhak mendapatkannya)[18].
Dalam berijtihad Umar bin Abdul Aziz
menghormati ijtihad para ulama walaupun mungkin hasilnya bertentangan
dengannya. Hal ini dilakukan untuk dapat merangkul semua golongan dan
menyatukan umat. Beliau menjadikan musyawarah dengan ulama’ sebagai salah satu
cara kontrol pemerintahannya agar selalu berjalan dalam garis-garis yang telah
ditetapkan syariat.
Perkembangan Agama
Selama pemerintahan Dinasti ini,
terdapat peluang untuk berkembangnya berbagai aliran yang trumbuh di kalangan
masyarakat meskipun aliran itu tidak dikehendaki oleh penguasa waktu itu.
Aliran-aliran tersebut diantaranya adalah Syiah, Khawarij, Mu’tazilah dan yang
lainnya[19].
Mulainya ekspansi wilayah kekuasaan
semasa Umayyah telah membuat Islam bersinggungan dengan dunia barat
(Eropa)Penaklukan Spanyol dan upaya untuk menguasai Bizantium membuat umat
Islam mau tidak mau bertemu dengan pemikiran filsafat Yunani yang sudah berkembang
sebelumnya. Hal ini mengakibatkan sedikit banyaknya berpengaruh kepada
perkembangan corak pemikiran para ulama-ulama Islam saat itu.
Dalam menentukan kebijakan-kebijakan
negara Umar selalu merujuk kepada sumber-sumber hukum berikut ini:
- Al-Qur’an dan as-Sunnah
- Peninggalan hukum (jurisprudensi) Abu Bakar dan Umar bin Khatab
- Ijma’ ulama’[20].
Ijma’ dilakukan dengan cara mengumpulkan
keputusan-keputusan hukum para ulama sebelumnya dan bermusyawarah dengan para
ulama’ yang masih hidup pada zamannya. Berikut adalah nama para ulama’ yang
masih hidup pada zamannya; Anas bin Malik, Said bin Musayyab, Salim bin
Abdullah bin Umar bin Khatab, Muhammad bin Syihab, Maimun bin Mahran, ‘Uwah bin
Zubair, Sulaiman bin Yasar, Al-qasim bin Muhammad, Khorijah bin Zaid dan
Abullah bin ‘Amir bin Rubai’ah[21].
Dalam berijtihad Umar bin Abdul Aziz
menghormati ijtihad para ulama walaupun mungkin hasilnya bertentangan
dengannya. Hal ini dilakukan untuk dapat merangkul semua golongan dan
menyatukan umat. Beliau menjadikan musyawarah dengan ulama’ sebagai salah satu
cara kontrol pemerintahannya agar selalu berjalan dalam garis-garis yang telah
ditetapkan syariat. Cara berijtihad kecuali Umar bin
Abdul Aziz. Ini disebabkan para khalifah Bani Umawiyah lebih terfokus kepada
urusan politik agar kekuasaan tidak berpindah ketangan yang lain. Tidak seperti
pada masa Khulafa’urrasyidin. Pada masa ini urusan agama diserahkan pada Ulama dan penguasa hanya
bertanggung jawab pada urusan politik saja. Pemikiran ulama besar, karena bukan produk legislatif tidak memiliki
kekuatan yang mengikat. Hasil pemikiran tersebut cenderung bersifat sebagai
fatwa dan mengikuti fatwa bagi masyarakat muslim sifatnya sukarela. Tetapi
karena ulama itu biasanya orang yang dipercaya,maka fatwa tersebut
disegani oleh banyak pengikut. Namun karena
pemerintahan ini masih “berlabel” Islam maka pemikiran ulama yang sekiranya sejalan
dengan kebijakan pemerintah diadopsi
dan ulama tersebut akan diangkat sebagai mufti di istana, meskipun pada
kenyataanyabanyak ulama-ulama besar yang menolak jabatan tersebut[22].
Kebijakan pemerintahan
yang membedakan urusan agama dan negara ini berakibat padamunculnya pemikiran
ulama-ulama yang lain. Terlebih lagi dengan semakin luasnya wilayahkekuasaan
Islam pada masa ini, dengan kata lain semakin luasnya daerah dakwah bagi parasahabat dan tabi‟in
yang berbekal informasi hadits yang berbeda-beda
pula[23].
Nilai fatwa mereka
adalah sebagai pendapat individu yang kalau fatwanya benar, maka ia datangnya
dariAllah. Sedang kalau salah, itu merupakan kesalahan sendiri. Oleh karena
itu, tak seorang pun diantara mereka mengharuskan orang lain untuk mengikuti
fatwanya. Argumentasi merekamengindikasikan atas adanya kebebasan mereka dalam
menarik kemaslahatan dan mencegahkerusakan.Secara umum, ulama pada masa ini
mengikuti langkah-langkah para sahabat dalampenetapan hukum. Kendati demikian
ada beberapa perkembangan baru yang membedakanperkembangan fiqih pada periode
ini dengan periode sebelumnya, khususnya ulama yangberada di Irak untuk memandang
hukum sebagai timbangan rasionalitas. Mereka tidak sajabanyak menggunakan rasio
dalam memahami hukum dan menyikapi peristiwa dan persoalanyang muncul, tetapi
juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberi hukumnya[24]
a. Ahlul
Hadits
Dalam masyarakat Islam
pada masa itu terdapat kelompok ulama yangmetode pemahamannya terhadap ajaran
wahyu sangat terikat oleh informasi dariRasulullah. Dengan kata lain, ajaran
Islam hanya diperoleh dari Al Qur‟an dan petunjuk hadits Rasulullah saja. Maka dari itu mereka disebut
sebagaiahlul hadits.Mulanya kelompok
ini timbul di Hijaz, utamanya di Madinah karenapenduduk Hijaz lebih banyak
mengetahui hadits dan tradisi Rasulullah dibandingpenduduk di luar Hijaz. Hijaz
adalah daerah yang perkembangan budayanya dalampantauan Rasulullah hingga
beliau wafat. Di Madinah sebagai ibukota Islam,beredar hadits Rasulullah yang
lebih lengkap dibanding daerah lain di manapun.Masa pemerintahan Umar bin Abdul
Aziz dikenal sebagai masa permulaanpembukuan hadits. Kekhawatiran khalifah akan
semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi menggerakkan hatinya untuk
memerintahkan ulama hadits khususnya.
Masa pemerintahan
Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai masa permulaan pembukuan hadits.
Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi
menggerakkan hatinya untuk memerintahkan ulama hadits khususnyai Hijaz agar membukukan hadits. Diantara ulama yang masuk kedalam
kategori aliran
ini adalah: Sa‟id bin Al Musayyab, Ahmad bin Hanbal
Umar bin Abdul Aziz, ketika ia diangkat
sebagai khalifah, progam utama pemerintahannya terfokus pada usaha pengumpulan
hadist untuk dibukukan Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah
bin Syihab Az-zuhri seorang yang tepat dan siap melaksanakan perintah kholifah,
maka ia bekerja sama dengan perowi-perowi yang dianggap ahli untuk dimintai
informasi tentang hadist-hadist nabi yang berceceran ditengah masyarakat islam
untuk dikumpulkan, ditulis dan dibukukan.
Abu Bakar Muhammad, dianggap pengumpul
hadits yang pertama pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ini.Jejak Abu
Bakar Muhammad, diikuti oleh generasi dibawahnya, seperti Imam Malik menulis
kumpulan buku hadist terkenal Muwatha’, imam Syafii menulis Al-Musnad. Pada
tahap selanjutnya, program pengumpulan hadist mendapat sambutan serius dari
tokoh-tokoh islam, seperti :
- Imam Bukhari, terkenal dengan Shohih Bukhari
- Imam Muslim, terkenal dengan Shohih Muslim
- Abu Daud, terkenal dengan Sunan Abu Daud
- An –Nasa’i, terkenal dengan Sunan An-Nasa’i
- At-Tirmidzi, terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi
- Ibnu Majah, terkenal dengan Sunan Ibnu Majah
Kumpulan para ahli hadist tersebut
diatas, terkenal dengan nama Kutubus Shittah.
b. Ahlur Ra’y
Istilah Ahlur ra‟y digunakan untuk
menyebut kelompok pemikir hokum Islam yang memberi porsi akal
lebih banyak dibanding pemikir lainnya. Bila Ahlul Hadits dalam
menjawab persoalan tampak terikat oleh teks maka Ahlur ra’y sebaliknya
meskipun tidak sepenuhnya menggunakan akal sebagai alat untuk mengambil
kesimpulan hukum. Mereka juga menggunakannash sebagai dasarpenetapan hokum hanya saja mereka dalam melihat nash lebih cenderung kepadasubstansi
masalah daripada textual.
Mereka berpendapat bahwa nash syar’I itu memiliki tujuan tertentu.
Dan nash syar‟i secara kumulatif bertujuan untuk mendatangkan maslahat
bagi manusia (Mashalihul Ibad). Karena banyaknya persoalan yang mereka hadapi danterbatasnya
jumlah nash yang ada maka para Ahlur Ra‟y berupaya untuk memikirkan rahasia yang terkandung di
balik nash. Diantara ulama yang masuk kedalam kategori aliran ini adalah:
AlQamahbin Qois (w. 62 H), Syuraih bin Al Harits (w. 78 H).
Untuk memahami Al-Qur’an para Ahli telah
melahirkan sebuah disiplin ilmu baru yaitu ilmu tafsir, ilmu ini dikhususkan
untuk mengetahui kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika Nabi masih hidup,
penafsiran ayat-ayat tertentu dituntun dana ditunjukkan melalui malaikat
Jibril. Setelah Rasulullah wafat para sahabat Nabi seperti Ali bin Abu Thalib,
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud. Ubay bin Ka’ab mulai menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an bersandar dari Rasulullah lewat pendengaran mereka ketika
Rasulullah masih hidup.
Dalam perkembangan generasi berikutnya,
pada masa Dinasti Umayyah Islam telah berkembang luas. Apalagi
pemahaman terhadap Bahasa Arab bagi umat non-Arab mengalami kesulitan.
Makalahirlah tokoh-tokoh dibidang Tafsir, seperti Muqatil bin Sulaiman
(w.150H), Muhammad bin Ishak, Muhammad bin Jarir At-Thabary (w. 310).
c. Dibidang
Ilmu Fiqih
Al –Qur’an sebagai kitab suci yang
sempurna, merupakan sumber utama bagi umat islam, terkhusus dalam menentukan
masalah-masalah hukum. Pada masa Khulafaurrasyidin, penetapan hukum disamping
bersumber dari Rasulullah dilakukan sebuah metode penetapan hukum, yaitu
ijtihad. Ijtihad pada awalnya hanya pengertian yang
Sederhana, yaitu pertimbangan yang
berdasarkan kebijaksanaan yang dilakukan dengan adil dalam memutuskan sesuatu
msalah. Pada tahap perkembangan pemikiran islam, lahir sebuah ilmu
hukum yang disebut Fiqih, yang berarti pedoman hukum dalam memahami masalah
berdasarkan suatu perintah untuk melakukan suatu perbuatan, perintah tidak
melakukan suatu perbuatan dan memilih antara melakukan atau tidak melakukannya.
Pada masa ini bermunculan para tokoh ahli fiqih, antara lain :
- Sa’id bin Al-Musayyid (Madinah)
- Salim bin Abdullah bin Umar (Madinah)
- Rabi’ah bin Abdurahman (Madinah)
- Az –Zuhri (Madinah)
- Ibrahim bin Nakha’ai (Kufah)
- Al –Hasan Basri (Basrah)
- Thawwus bin Khaissan (Yaman)
- Atha’ bin Ra’bah (Mekah)
- Asy –Syu’aibi (Kufah)
- Makhul (Syam)
Pada zaman dinasti Umayyah ini telah
berhasil meletakkan dasar-dasar hukum islam menurut pertimbnagan kebijaksanaan
dalam menetapkan keputusan yang berdasar Al-Qur’an dan pemahaman nalar/akal.
Dalam bidang fikih, Spanyol dikenal
sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini disana adalah
Ziyad ibn Abd al-Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya
yang menjadi qadhi pad masa Hisyam ibn Abd al-Rahman. Ahli-ahli fikih lainnya
yaitu Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang
terkenal[25]
d. Bidang
Ilmu Taswuf
Taswuf merupakan sebuah ilmu tentang
cara mendekatkan diri kepada Allah saw, tujuannya agar hidup semakin
mendapatkan makna yang mendalam, serta mendapatkan ketentraman jiwa. Ilmu
tasawuf berusaha agar hidup manusia memilki akhlak mulia, sempurna dan kamil.
Munculnya tasawuf, karena setelah umat semakin jauh dari Nabi, terkadang hidupnya
tak terkendali, utamanya dalam hal kecintaan terhadap materi. Tokoh –tokoh
dalam hal tasawuf antara lain sebagai berikut :
d.1. Hasan Al-Basri
Hasan al-Basri mengenalkan kepada umat
tentang pentingnya tasawuf, karena tasawufdapat melatih jiwa/hati
memiliki sifat zuhud(hatinya tidak terpengaruh dengan harta benda,
walau lahiriyah kaya), sifat roja’(harta benda, anak-anak, jabatan
tidak bisa menolong hidupnya tanpa adanya harapan ridho dari Allah swt)
dan sifat khouf(sifat takut kepada Allah swt yang dalam dan melekat
dalam jiwanya).
d.2. Sufyan Ats-Tsauri
Beliau lahir dikufah tahun 97 H,
mempunyai nama lengkap: Abu Abdullah Sufyan bin SA’id Ats-Tsauri. Pemikiran
bidang taswuf merangkum sebagai berikut:
a. Manusia dapat memiliki
sifat zuhud, bila saat ajalnya menghampirinya, karena kelezatan dunia telah
diambil Allah swt, maka manusia baru ingat makna kehidupannya.
b. Manusia dalam
menjalani hidup didunia harus bekerja keras agar hidupnya tercukupi, dengan
kerja manusia dapat terhindar dari kegelapan dan kehinaan.
2. Perkembangan Bidang Filsafat.
Kemajuan pemikiran Islam, tidak dapat
dipisahkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sangat berperan
aktif dalam kemajuan suatu peradaban. Ada tiga faktor yang menyebabkan
berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam pada masa kejayaannya, yaitu
pertama, faktor agama (religius), kedua, apresiasi masyarakat terhadap ilmu.
Dan ketiga, patronase (perlindungan dan dukungan) yang sangat dermawan dari
para penguasa dan orang-orang kaya terhadap berbagai kegiatan ilmiah[26].
Tradisi pemikiran dan keilmuan dalam
Islam berkembang cukup pesat dengan dimulainya aktivitas penerjemahan
karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Dalam hal ini Dar al-Hikmah
yang dibangun Harun al-Rasyid menjadi pusat kegiatannya, yang sekaligus sebagai
pintu masuk bagi pemikiran filsafat Yunani kuno ke dalam tradisi Islam.
Tampilnya para filosof dan saintis muslim seperti al-Kindi, al-Farabi,
al-Khawarizmi dan Ibn Sina tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang mereka
peroleh dari aktivitas penerjemahan dan membludaknya literatur-literatur Yunani[27].
Peradaban Islam pernah memimpin dunia
selama lebih kurang 600-800 tahun, dimana kaum Muslim dengan sungguh-sungguh
mengemban amanah ilmu pengetahuan. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah
diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia
Barat modern sekarang ini sejak masa renaissance. Ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran,
tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti
dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang berasal
dari para ilmuan Muslim. Secara historis, dunia Islamlah yang pertama kali
melakukan internationalization of knowledge di mana karya-karya ilmuwannya
dibaca oleh ilmuwan lain dari berbagai negara. Sebelum munculnya peradaban
Islam, peradaban di dunia ini masih bersifat lokalistik-nasionalistik. Misalnya,
ilmu logika hanya berkembang di sekitar peradaban Yunani, ilmu yang terkait
pengadaan bahan mesiu hanya di seputar peradaban Cina, dan lain-lain[28].
Kemajuan pemikiran yang demikian pesat
dan mengagumkan ini seiring dengan kebebasan mengeksplorasi pemikiran yang
secara spesifik banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani. Sampai
akhirnya perannya bergeser dengan digantikan oleh tradisi sufistik yang
dimotori oleh al-Ghazali yang sebenarnya juga berangkat dari pijakan pemikiran
filsafat. Pada masa ini dunia Islam mengalami kemandekan pemikiran filsafat
yang cukup panjang. Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menghidupkan
kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia Islam pasca kejayaan pemikiran
Islam[29].
Disamping itu, sejalan dengan spirit
modernisme yang sedang digemborkan di negeri-negeri Arab, aspek rasionalitas
merupakan bagian penting dari modernitas. Usaha untuk mencari contoh dari
tradisi sendiri yang memuat pesan rasionalitas hanya dapat dijumpai dalam
tradisi filsafat, seperti yang pernah dicontohkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn
Sina dan Ibn Rusyd. Faktor lain adalah adanya interaksi harmonis baik secara
langsung ataupun tidak dengan peradaban Barat modern. Masyarakat Arab saat ini
selalu menyamakan posisi mereka dengan zaman kejayaan mereka dulu, ketika
mereka berinteraksi dengan peradaban dan pencapaian Yunani. Terlebih kini,
ketika mereka sadar atau tidak--dikejutkan oleh banyaknya studi tentang
filsafat Islam yang dilakukan oleh orang Barat. Hal ini, untuk selanjutnya
menjadi cambuk pemicu bagi mereka untuk mengkaji sendiri tradisi dan warisan
intelektual mereka, karena seharusnya merekalah yang lebih mengetahui tradisi
sendiri[30].
Islam di Spanyol telah mencatat satu
lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan
sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke
Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai
dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang
ke-5, Muhammad bin Abdurrahman (832-886 M).
Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M),
karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar,
sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu
menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang
dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan
persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.
Tokoh utama pertama dalam sejarah
filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad bin al-Sayigh yang lebih dikenal
dengan Ibnu Bajjah. Dilahirkan di Saragosa, ia pindah ke Sevilla dan Granada.
Meninggal karena keracunan di Fezzan tahun 1138 M dalam usia yang masih muda.
Seperti al-Farabi dan Ibnu Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat
etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid. Tokoh utama
kedua adalah Abu Bakr bin Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil
di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak
menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang
sangat terkenal adalah Hay bin Yaqzhan.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan
masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan
Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat
Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara
Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada
penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang
berbudaya Arab dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua
komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap
terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmiah,
sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol. Perkembangan tersebut meliputi:
Islam di Spanyol telah mencatat satu
lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan
sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke
Eropa pada abad ke-12. minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai
dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang
ke-5, Muhammad ibn Abd al-Rahman (832-886 M).
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi
munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat
dalam Islam, yaitu Rusyd dari Cordova[31].
la lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah
kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam
menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama.
Pada abad ke 12 diterjemahkan buku
Al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicenne) mengenai kedokteran. Diahir abad ke-13
diterjemahkan pula buku Al-Hawi karya Razi yang lebih luas dan lebih tebal dari
Al-Qanun[10]. Ibnu Rusyd memiliki sikap realisme, rasionalisme, positivisme
ilmiah Aristotelian. Sikap skeptis terhadap mistisisme adalah basis di mana ia
menyerang filsafat Al-Ghazali[32].
C. Sain dan Teknologi
Perkembangan sain dan teknologi pada
masa Dinasti Umayyah cukup pesat. Terutama sekali pada masa Umayyah II di
Damaskus. Salah satunya yang terkenal adalah Abbas ibn Farnas dalam ilmu kimia
dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu[33].
Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. la dapat menentukan
waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. la juga
berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya
dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang
obat-obatan. Umm Al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz
adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita. Dan Fisika. Kitab
Mizanul Hikmah (The Scale of Wisdom), ditulis oleh Abdul Rahman al-Khazini pada
tahun 1121, adalah satu karya fundamental dalam ilmu fisika di Abad
Pertengahan, mewujudkan “tabel berat jenis benda cair dan padat dan berbagai
teori dan kenyataan yang berhubungan dengan fisika.
Dalam bidang sejarah dan geografi,
wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari
Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan
Sicilia dan Ibn Bathuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudra Pasai dan
Cina. Ibn Khaldun (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun
dart Tum adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat
tinggal di Spanyol yang kemudian pindah ke Afrika.
D. Musik dan Kesenian.
Seni musik Andalusia berkembang dengan
datangnya Hasan ibn Nafi’ yang lebih dikenal dengan panggilan Ziryab. Ia adalah
seorang maula dari Irak, murid Ishaq al Maushuli seorang musisi dan biduan
kenamaan di istana Harun al Rasyid. Ziryab tiba di Cordova pada tahun pertama
pemerintahan Abd al Rahman II al Autsath. Keahliannya dalam seni musik dan
tarik suara berpengaruh hingga masa sekarang. Hasan ibn Nafi’ dianggap sebagai
peketak pertama dasar dari musik Spanyol modern. Ialah yang memperkenalkan
notasi do-re-mi-fa-so-la-si. Notasi tersebut berasal dari huruf Arab.
Studi-studi musikal Islam, seperti telah diprakarsai oleh para teoritikus
al-Kindi, Avicenna dan Farabi, telah diterjemahkan ke bahasa Hebrew dan Latin
sampai periode pencerahan Eropa. Banyak penulis-penulis dan musikolog Barat
setelah tahun 1200, Gundi Salvus, Robert Kilwardi, Ramon Lull, Adam de Fulda,
dan George Reish dan Iain-lain, menunjuk kepada terjemahan Latin dari
tulisan-tulisan musikal Farabi. Dua bukunya yang paling sering disebut adalah
De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
E. Bahasa dan
Sastra.
Bahasa Arab telah menjadi bahasa
administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh
orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor duakan
bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab,
baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn
Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali
Al-Isybili, Abu Al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan Al-Gharnathi.
Pada permulaan abad IX M bahasa Arab
sudah menjadi bahasa resmi di Andalusia. Pada waktu itu seorang pendeta dari
Sevilla menerjemahkan Taurat kedalam bahasa Arab, karena hanya bahasa Arab yang
dapat dimengerti oleh murid-muridnya untuk memahami kitab suci agama mereka.
Hal seperti itu terjadi pula di Cordova dan Toledo. Menurut al Siba’i pada saat
itu tidak jarang dari penduduk setempat yang beragama Nashrani lebih fasih
berbahasa Arab daripada (sebagian) bangsa Arab sendiri[34].
Berikut ini nama-nama ilmuwan beserta
bidang keahlian yang berkembang di Andalusia masa dinasti Bani Umayyah :
- Abu Ubaidah Muslim Ibn Ubaidah al Balansi Astrolog , Ahli Hitung Ahli gerakan bintang-bintang
- Dikenal sebagai Shahih al Qiblat karena banyak sekali mengerjakan penetuan arah shalat.
- Abu al Qasim Abbas ibn Farnas- Astronomi- Kimia Ilmi kimia, baik kimia murni maupun terapan adalah dasar bagi ilmu farmasi yang erat kaitannya dengan ilmu kedokteran.
- Ahmad ibn Iyas al Qurthubi Kedokteran Hidup pada masa Khalifah Muhammad I ibn abd al rahman II Ausath
- Al Harrani Yahya ibn Ishaq Hidup pada masa khalifah Badullah ibn Mundzir
- Abu Daud Sulaiman ibn Hassan Hidup pada masa awal khalifah al Mu’ayyad
- Abu al Qasim al Zahrawi Dokter Bedah, Perintis ilmu penyakit telinga. Pelopor ilmu penyakit kulit
- Di Barat dikenal dengan Abulcasis. Karyanya berjudul al Tashrif li man ‘Ajaza ‘an al Ta’lif, dimana pada abad XII telah diterjemahkan oleh Gerard of Cremona dan dicetak ulang di Genoa (1497M), Basle (1541 M) dan di Oxford (1778 M) buku tersebut menjadi rujukan di universitas-universitas di Eropa.
- Abu Marwan Abd al Malik ibn Habib Ahli sejarah, Penyair dan ahli nahwu sharaf salah satu bukunya berjudul al Tarikh
- Yahya ibn Hakam Sejarah, Penyair
- Muhammad ibn Musa al razi Sejarah wafat 273/886. Menetap di Andalusia pada tahun 250/863
- Abu Bakar Muhammad ibn Umar Sejarah Dikenal dengan Ibn Quthiyah , Wafat 367/977 dan Bukunya berjudul Tarikh Iftitah al Andalus
- Uraib ibn Saad Sejarah Wafat 369/979, Meringkas Tarikh al- thabari, menambahkan kepadanya tentang al Maghrib dan Andalusia, disamping memberi catatan indek terhadap buku tersebut.
- Hayyan Ibn Khallaf ibn Hayyan Sejarah & sastra Wafat 469/1076, Karyanya : al Muqtabis fi Tarikh Rija al Andalus dan al Matin.
- Abu al Walid Abdullah ibn Muhammad ibn al faradli. Sejarah Penulis biografi Lahir di Cordova tahun 351/962 dan wafat 403/1013. Salah satu karyanya berjudul Tarikh Ulama’i al Andalus
Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat pada masa Umayyah tidak terlepas dari kecintaan dan hasrat yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, tidak hanya dikalangan penduduk akan tetapi juga terlebih di kalangan penguasa. Pada masa al Muntashir terdapat tidak kurang dari 800 buah sekolah, 70 perpustakaan pribadi disampin perpustakaan umum[35].[15]
F. Kemegahan bangunan fisik /
Arsitektur.
Aspek-aspek pembangunan fisik yang
mendapat perhatian umat Islam sangat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan
pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru
diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya.
Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air
didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan
pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek
curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan
hidrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia
yang dinamakan na’urah (Spanyol: Noria). Di samping itu, orang-orang Islam juga
memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun, dan taman-taman[36].
Industri, di samping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang punggung
ekonomi Spanyol Islam. Di antaranya adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan
industri barang-barang tembikar.
Namun demikian, pembangunan-pembangunan
fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti
pembangunan kota, istana, mesjid, pemukiman, dan taman-taman. Di antara
pembangunan yang megah adalah mesjid Cordova, kota Al-Zahra, Istana Ja’fariyah
di Saragosa, tembok Toledo, istana Al-Makmun, mesjid Seville, dan istana
Al-Hamra di Granada, Masjid Batu ( Doom Of Rock ).
F. Pengaruh
Peradaban Islam Di Eropa
Spanyol merupakan tempat yang paling
utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik,
sosial, maupun perekonomian, dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa
menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh
meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran
dan sains di samping bangunan fisik[37].Berawal
dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad
ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M[38]
Pengaruh peradaban Islam, termasuk di
dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda
Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti
universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di
Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim.
Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka
mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas pertama eropa adalah
Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M tiga puluh tahun setelah
wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman Pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah
universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh
dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu
pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah
pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd[39].
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas
Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan
kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M.
Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui
terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali
ke dalam bahasa Latin[40].
G. Membangun
Pemerintahan yang Tangguh
Daulah Bani Umayyah mempunyai peranan
penting dalam perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi dan sosial.
hal ini didukung oleh pengalaman politik Muawiyah sebagai Bapak pendiri daulah
tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan
miring tentang pemerintahannya. Muawiyah bin Abu sufyan adalah seorang politisi
handal di mana pengalaman politiknya sebagai gubernur Syam pada masa khalifah
Utsman bin Affan cukup mengantar dirinya mampu mengambil alih kekuasaan dari
genggaman keluarga Ali bin Abi Thalib.
Perintisan Dinasti Umayyah dilakukan
oleh Muawiyah dengan cara menolak membaiat Ali bin Abi Thalib, berperang
melawan Ali, dan melakukan perdamaian (Tahkim) dengan pihak Ali yang secara
politik sangat menguntungkan Muawiyah. Keberuntungan Muawiyah berikutnya adalah
keberhasilan pihak Khawarij membunuh Khalifah Ali r.a. jabatan khalifah
dipegang oleh putranya, Hasan Ibn Ali selama beberapa bulan. Akan tetapi,
karena tidak didukung oleh pasukan yangkuat, sedangkan pihak Muawiyah semakin
kuat, akhirnya Muawiyah melakukan perjanjian dengan Hasan Ibn Ali. Isi
perjanjian itu adalah bahwa penggantian pemimpin akan diserahkan kepada umat
Islam setelah masa Muawiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat pada tahun 661 M
(41 H). dan pada tahun tersebut dinamakan ‘amu Jama’ah karena perjanjian ini
mempersatukan umat Islam kembali menjadi satu kepemimpinan politik, yaitu
Muawiyah. Pada masa itu, umat Islam telah bersentuhan dengan peradaban Persia
dan Bizantium. Oleh karena itu, Muawiyah juga bermaksud meniru cara suksesi
kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium, yaitu monarki (kerajaan)[41].
Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang pada waktu
terbunuhnya Utsman ibn Affan, masih menjabat sebagai gubernur Suriah, menolak
membait Ali ibn Abi Tholib sebagai khalifah keempat Khulafaur Rasyidin. Ia
malah menuntut Ali untuk bertanggung jawab atas kematian khalifah ketiga itu[42].
Bahkan ia menyatakan memisahkan diri dari pemerintahan Ali dan dibaiat oleh
pengikutnya sebagai khalifah pada tahun 40 H/660 M di Iliya (Yerusalem)[43].
Pembaitan ini menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah dan kelompok
Muawiyah ini menjadi bughot pertama dalam sejarah Islam yang memisahakan diri
dari pemerintahan islam yang sah. Mereka mendirikan negara di dalam Negara;
dengan menjadikan Damaskus menjadi ibu kota pemerintahan islam. Padahal pusat
pemerintahan yang sah adalah kufah di bawah kepemimpinan Ali.
Setelah kematian Ali pada bulan Ramadhan
tahun 40 H/661 M, putra tertua Ali yang bernama al-Hasan diangkat menjadi
pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia
sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih
mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai[44] dengan
kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan
Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah
disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin
saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan[45].
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah
mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk
diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena
hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku
yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan,
aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu[46].
Dalam diri Mu’awiyah seni berpolitik
berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggi tinimbang dibandingkan
dengan khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai utama
yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar biasa untuk mengunakan kekuatan
hanya ketika dipandang perlu dan, sebagai gantinya, lebih banyak menggunakan
jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar
tentara meletakkan senjata dan membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak
mudah marah dan pengendalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu
menguasai keadaan[47].
Secara kenegaraan, Muawiyah mengubah
bentuk pemerintahan dari model Khulafa’ur Rasyidin yang menggunakan konsep
Syura pada mekanisme pergantian kepemimpinan menjadi bentuk kerajaan dengan
“pewarisan kekuasaan” pada puteranya. Muawiyah adalah seorang politisi yang
cukup paham strategi. Ia menerapkan beberapa kebijakan pada lawan politiknya,
seperti mengurangi hak politik Hasan bin Ali serta mempersiapkan puteranya
untuk menggantikannya agar kedudukan politiknya kuat.
Namun dalam perspektif lain, Muawiyah
memiliki kontribusi besar dalam perubahan struktur sosial dan politik umat pada
waktu itu. Muawiyah memisahkan Qadhi dan Ulama, sehingga posisi qadhi atau
hakim menjadi sebuah jabatan profesi. Beliau juga memodernisasi militer
sehingga lebih professional dalam menjalankan tugas, kendati sering digunakan
untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.
Muawiyah juga memiliki prestasi lain di
bidang politik luar negeri. Penyebaran Islam ke luar yang telah dimulai sejak
era Umar bin Khattab diteruskan oleh Muawiyah dengan mengirim pasukan ke Afrika
Utara (wilayah Maroko sampai Tunisia) untuk menghadapi pasukan Barbar yang
menguasai daerah tersebut dan sering mengancam wilayah Mesir. Sebagai respons,
gubernur Mesir, Amr bin Ash menunjuk panglima Uqbah untuk menghadapi kekuatan
Barbar dan akhirnya berhasil menguasai Qairawan di Maroko sampai ke sebelah
selatan Tunisia.
Suksesi kepemimpinan secara turun
temurun di mulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan
setia tehadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia
dan Bizantium[48].
Beliau berhasil mencipataan stabilitas
nasional. Pada masa pemerintahannya, tidak ada pemberontakan yang berarti
kecuali letupan-letupan kecil saja. Dan mendirikan departemen pencatatan
adiminstrasi negara, termasuk pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah
pemerintahan islam. Pendirian pelayanan pos untuk menghubungkan wilayah-wilayah
kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi diantara pemimpin-pemimpin wilayah
tersebut. Pelayanan ini diantaranya menggunakan kuda dan keledai. Pembangunan
departemen pemungutan pajak. Departemen ini mendorong kesejahteraan dan
stabilitas ekonomi masyarakat[49].
Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan
yang baru untuk memenui tuntutan perkebangna wilayah dan administrasi
kenegaraan yang semakin komplek. Salah satunya adalah dengan mengangkat
penasehat sebagai pendamping khalifah dan beberapa orang al-kuttab (sekretaris)
untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Al-kuttab ini meliputi :
- Katib al-rasail: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
- Katib al-kharraj: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
- Katib al-jundi: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
- Katib al-qudat: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat[50].
Pada masa Abdul Malik bin Marwan jalanya
pemerintah ditentukan oleh empat departemen pokok (diwan). Ke-empat departemen
kementrian tersebut adalah :
- Kementrian pajak tanah (diwan al-kharraj) yang tugasnya mengawasi departemen keuangan.
- Kementrian khatam (diwan al-khatam) yang bertugas merancang dan mengesahkan ordonansi pemerintah. Sebagaimana masa Muawiyah materai resmi untuk memorandum dari khalifah, maka setiap tiruan dari memorandum itu dibuat kemudian ditembus dengan benang, disegel dengan lilin yang ahirnya di press dengan segel kantor.
- Kementrian surat menyurat (diwan al-rasail) dipercayakan untuk mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur.
- Kementrian urusan perpajakan (diwan al- mustahgallat).
Bahasa administrasi yang berasal dari
bahasa Yunani dan Persia diubah ke dalam bahasa Arab dimulai oleh Abdul Malik
tahun 704.
Dari paparan diatas jelas kita lihat
telah terjadi perubahan sistim pemerintahan yang pada masa khulafaurrasyidin
berlangsung secara demokratis menjadi bersifat monarkhi. Keputusan Muawiyah
yang menunjuk putranya sebagai pengganti beliau telah merubah sisitim tersebut.
Meski pada waktu perkembangannya pemerintahan Umayyah periode I di Bagdad yang
berlangsung lebih kurang 90 tahun mengalami pasang surut dengan sistim
tersebut cukup sukses mengantarkan dunia Islam menjadi dunia yang berkembang
pesat menuju Negara-negara mesir dan eropa. Ekspansi wilayahnya berjalan terus
semakin besar.
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat kita ambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut .
- Terjadi dikotomi antara agama dan pemerintahan. Agama menjadi urusan Ulama dan pemerintahan menjadi urusan Amir.
- Perkembangan dibidang pemikiran keagamaan yaitu lahirnya ulama-ulama hadits, Ulama Ra’yi, para mutakallimin, para Fuqaha (imam mazhab).
- Kontaknya Islam dengan Eropa mengakibatkan lahirnya kajian-kajian filsafat dalam Islam.
- Pada masa Umayyah terdapat perkembangan ilmu dan teknologi seperti arsitektur, kesehatan, ilmu falaq dan lain sebagainya.
- System pemerintahan berubah dari demokrasi kepada monarkhi
- Dibentuknya kementerian dan sekretaris dalam membantu khalifah menjalankan roda pemerintahan.